Penelitian Tindakan Kelas Peningkatan Kreativitas Membatik Teknik TAPRAM

Oleh Suwandi, S.Pd.M.Pd
Guru SMP Negeri 1 Tegowanu Kabupaten Grobongan
(lebih…)

7 Agustus, 2018 at 12:00 am

Peranan Al Izzah Dalam Membentuk Karakter Anak Bangsa

Oleh: Wiyono MPd.
Guru LPMI Al Izzah Batu Jawa Timur, dan pengamat pendidikan

(lebih…)

31 Januari, 2018 at 5:23 pm

Penerapan Model Dakar di SMA Negeri 1 Gubug

Oleh Muzamil SPd
Guru SMA Negeri 1 Gubug Kab. Grobogan Jawa Tengah

(lebih…)

24 Januari, 2018 at 7:14 am

Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi

Oleh Tri Sumarni MPd
Guru MAN 1 Oku Timur, Sumatra Selatan

 

 

 

 

PENDAHULUAN

Where have all the leaders gone? (ke mana gerangan para pemimpin yang memiliki kaliber tentunya), demikian ada orang bertanya. Dunia ini memerlukan banyak pemimpin yang dapat membawa keadaan ke arah yanng lebih baik. Negara memerlukan pemimpin, organisasi politik memerlukan pemimpin, kelompok agama memerlukan pemimpin, para pemuda memerlukan figur pemimpin yang dapat memberikan keteladanan dan inspirasi, perusahaan memerlukan pemimpin yang tangguh dan berkualitas, anak-anak di rumah memerlukan orangtua yang dapat memimpin anaknya, dan banyak lagi kelompok-kelompok manusia yang memerlukan pemimpin yang hebat.

Kebayakan negara menginginkan para pemimpinnya untuk maju ke depan serta mengatasi krisis ekonomi, sosial, guna memberi motivasi pada para prja dan memberi garis arahan yang paling baik bagi masa mendatang. Mereka memiliki peranan nyata dalam membentuk pola pikir. Mereka berfungsi sebagai simbol dari kesatuan moral masyarakat. Pemimpin mengekspresikan etika kerja dan nilai-nilai yang merangku masyarakat.

Organisasi kerja tanpa pemimpin tidaklah lebih daripada propaganda “ kue di langit”. Kenyataan dalam manajemen menunjukkan bahwa kelompok pekerja yang dibiarkan sendiri tanpa pemimpin, melepaskan mereka berjalan sendir, kurang pengarahan, dan disiplin; mereka hanya mencapai beberapa tujuan. Setiap kelompok atau organisasi membutuhkan pemimpin, baik pemimpin yang timbul sendiri dari kelompok tau yang ditugaskan. Bahkan kelompok/organisasi yang menggunakan pendekatan partisipasif terhadap pemecahan masalah juga membutuhkan adanya konseling, bimbingan, dan masukan yang hanya dapat diberikan oleh pemimpin yang dihargai. Tidak ada satu faktor pun yang memberikan lebih banyak manfaat terhadap sebuah organisasi dari pada pemimpin yang efektif. Pemimpin diperlukan untuk menentukan tujuan, mengalokasikan sumberdaya yang langka, memfokuskan perhatian pada tujuan-tujuan perusahaan, mengkoordinasikan perubahan, membina kontak antar pribadi dengan pengikutnya, menetapkan arah yang benar atau yang paling baik bila kegagalan terjadi. Semata-mata merupakan kenyataan hiduplah bahwa kelompok-kelompok dengan pemimpin dapat melakukan hal-hal tersebut secara lebih efisien dan lebih benar daripada kelompok tanpa pemimpin.

Prestasi total sebuah organisasi terutama ditentukan oleh sikap dan tindakan dari sang pemimpin. Efektivitas pemimpin ditentukan oleh hasil-hasil yang dicapai pemimpin. Pemimpin yang berhasil, baik yang memimpin beberapa atau beratus-ratus karyawan adalah pemimpin, karena mereka harus mencari peluang-peluang; memulai proyek-proyek mengumpulkan sumber daya manusia dan finansial yang diperlukan untuk melaksanakan proyek, menentukan tujuan-tujuan untuk mereka sendiri dan orang lain; dan memimpin serta membimbing orang lain untuk mencapai tujuan.

Seorang pemimpin yang efektif akan selalu mencari cara-cara yang lebih baik. Seseorang dapat menjadi pemimpin yang berhasil, jika percaya pada pertumbuhan yang berkesinambungan, efesiensi yang meningkat dan keberhasilan yang berkesinambungan dari perusahaan yang dipimpin. Pimpinan organisasi perusahaan merupakan unsur pokok dan sumber yang langka di dalam setiap perusahaan. Statistik perkembangan perusahaan menunjukkan bahwa setiap 100 perusahaan yang baru berdiri, kira-kira 50% gagal dalam tempo 2 tahun dan pada akhir tahun kelima hanya tinggal 30% yang masih jalan. Pada umumnya kegagalan itu disebabkan oleh kepemimpinan yang tidak efektif, mereka tidak mampu memimpin karyawan, tidak bisa bekerja sama dengan oarng lain atau mereka tidak bisa menguasai, mengendalikan diri sendiri. Berbagai kekeliruan terjadi di bawah kepemimpinannya. Misalnya karyawan tidak bisa dimotivasi untuk bekerja lebih baik, kurang disiplin, demikian pula dengan relasi perusahaan tidak terjalin kerjasama yang baik, dan juga perilaku pemimpin sendiri yang tidak bisa menjadi contoh. Seorang wirausaha yang baik adalah seorang pemimpin dalam bisnis, haruslah yang dapat menguasai dan mengembangkan diri sendiri, dan juga mampu menguasai serta mengarahkan dan mengembangkan para karyawannya.

Pengertian Kepemimpinan

Banyak definisi diberikan tentang kepemimpinan, antara lain:

George R.Terry, Leadership is the activit of influencing people to strive willingly for group objectives. Stoner, kepemimpinan adalah suatu proses pengarahan dan pemberian penngaruh pada kegiata-kegiatan dari sekelompok anggota yang saling berhubungan tugasnya.

Harold Koontz and Cyril O’Donnell, state that leadership is influencing people to follow in the achivement of a common goal. Handbook of Leadership, memberikan definisi kepemimpinan sebagai “suatu interaksi antar anggota suatau kelompok. Pemimpin merupakan agen perubahan, orang yang perilakunya akan lebih memengaruhi orang lain daripada perilaku orang lain yang memengaruhi mereka. Kepemimpinan timbul ketika satu anggota kelompok mengubah motivasi atau kompetensi anggota lainnya di dalam kelompok”.

Banyak lagi definisi tentang kepemimpinan, sama seprti banyaknya orang yang membuat definisi itu. Ada tiga implikasi penting yang tercakup dalam kepemimpinan dari beberapa definisi di atas yaitu: Pertama, kepemimpinan melibatkan orang lain, seperti bawahan atau para pengikut. Seorang wirausaha akan berhasil apabila dia berhasil memimpin karyawannya atau pembantu-pembantu yang mau bekerjasama dengan dia untuk memajukan perusahaan. Jadi wirausaha harus pandai merangkul dan melibatkan para karyawan dalam segala aktivitas perusahaan. Untuk melibatkan para karyawan, kemungkinan pemimpin harus menggunakan berbagai cara misalnya memberi hadiah, memberi nasehat, memberi imbalan yang cukup kepada karyawan, dan sebagainya. Kedua, kepemimpinan menyangkut pembagian kekuasaan. Para wirausaha mempunyai otoritas untuk memberikan sebagian kekuasaan kepada karyawan atau seorang karyawan yang diangkat menjadi pemimpin pada bagianbagian tertentu. Dalam hal ini seorang wirausaha telah membagikan kekuasaannya kepada karyawan lain untuk bertindak atas nama dia. Selanjutnya segala macam informasi sebagai hasil dari pengawasan dan pelaksanaan pekerjaan dapat dimonitor oleh pimpinan. Ketiga, kepemimpinan menyangkut penanaman pengaruh dalam rangka mengarahkan para bawahan. Seorang wirausaha tidak hanya mengingatkan apa yang harus dikerjakan oleh karyawan tetapi juga harus mampu memajukan perusahaan. Seorang wirausaha juga harus dapat memberi contoh yang baik, bagaimana melaksanakan pekerjaan sesuai dengan yanng diperintahkan. Pendekatan-pendekatan Studi Kepemimpinan Penelitian-penelitian dan teori-teori kepemimpinan dapat diklasifikasikan sebagai pendekatan-pendekatan kesifatan, perilaku, dan situasional (“contingency”) dalam studi tentang kepemimpinan. Pendekatan pertama memandang kepemimpinan sebagai suatu kombinasi sifat-sifat (traits) yang tampak. Pendekatan kedua bermaksud mengidentifikasi perilaku-perilaku (behaviors) pribadi yang berhubungan dengan kepemimpinan efektif. Kedua pendekatan ini mempunyai anggapan bahwa seorang individu yang memiliki sifatsifat tertentu atau memperagakan perilaku-perilaku tertentu akan muncul sebagai pemimpin dalam situasi kelompok apapun di mana dia berada. Pemikiran dan penelitian sekarang mendasarkan pada pendekatan ketiga, yaitu pandangan situasional tentang kepemimpinan. Pandangan ini menganggap bahwa kondisi yang menentukan efektivitas kepemimpinan bervariasi dengan situasi/tugas-tugas yang dilakukan, ketrampilan dan pengharaan bawahan, dan sebagainya. Pandangan ini telah menimbulkn pendekatan “contingency” pada kepemimpinan, yang bermaksud untuk menetapkan faktor-faktor situasional yang menentukan seberapa besar efektivitas situasi gaya kepemimpinan tertentu. Ketiga pendekatan tersebut akan dibahas secara kronologis, sebagai berikut:

1) Pendekatan Sifat-sifat (Traits Approach)

Sifat-sifat  perilaku situasional – contingency Para teoritisi kesifatan adalah kelompok pertama yang bermaksud menjelaskan tentang aspek kepemimpinan. Mereka percaya bahwa para pemimpin memiliki ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu yang menyebabkan mereka dapat memimpin para pengikutnya. Daftar sifat-sifat ini dapat menjadi sangat panjang tetapi cenderung mencakup energi, pandangan, pengetahuan dan kecerdasan, imajinasi, kepercayaan diri, integritas, kepandaian berbicara, pengendalian dan keseimbangan mental maupun emosional, bentuk fisik, pergaulan sosial dan persahabatan, dorongan, antusiasme, berani, dan sebagainya.

Antara pemimpin dan bukan pemimpin dapat dilihat dengan mengidentifikasi sifat-sifat kepribadiannya. Pendekatan psikologis ini untuk sebagian besar didasarkan atas pengakuan umum bahwa perilaku individu untuk sebagian ditentukan oleh struktur kepribadian. Usaha sistemik pertama yang dialkukan oelh para psikolog dan para peneliti untuk memahami kepemimpinan adalah mengidentifikasikan sifatsifat pemimpin. Sebagian besar penelitian-penelitian awal tentang kepemimpinan ini bermaksud untuk:

  1. a) membandingkan sifat-sifat orang yang menjadi pemimpin dengan sifatsifat yang menajdi pengikut (tidak menjadi pemimpin), dan
  2. b) mengidentifikasi ciri-ciri dan sifat-sifat yang dimiliki oleh para pemimpin efektif. Berbagai studi pembandingan sifat-sifat pemimpin dn bukan pemimpin, sering menemukan bahwa pemimpin cenderung mempunyai tinngkat kecerdasan lebih tinggi, lebih ramah, dan lebih percaya diri daripada yang lain dan mempunyai kebuthan akan kekuasaan lebih besar. Tetapi kombinasi sifat-sifat tertentu yanng akan membedakan antara pemimpin atau calon pemimpin dari pengikut, belum pernah ditemukan.

Penelitian lain mencoba untuk membandingkan sifat-sifat pemimpin yang efektif dan tidak efektif. Berbagai sifat dipelajari untuk menentukan apakah hal-hal tersebut berhubungan dengan kepemimpinan efektif. Seorang peneliti, Edwin Ghiselli, dalam penelitian ilmiahnya telah menunjukkan 7 sifat tertentu yang tampaknya penting untuk kepemimpinan efektif. Sifat-sifat tersebut adalah sebagai berikut:

  1. a) Kemampuan dalam kedudukannya sebagai pengawas (supervisory ability) atau pelaksanan fungsi-fungsi dasar manajemen, terutama pengarahan dan pengawasan pekerjaan orang lain.
  2. b) Kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaan, mencakup pencarian tanggungjawab dan keinginan sukses.
  3. c) Kecerdasan, mencakup kebijakan, pemikiran kraetif dan daya pikir.
  4. d) Ketegasan, atau kemampuan untuk membuat keputusan-keputusan dan memecahkan masalah-masalah dengan cakap dan tepat.
  5. e) Kepercayaan diri, atau pandangan terhadap dirinya sebagai kemampuan untuk menghadapi masalah.
  6. f) Inisiatif, atau kemampuan untuk bertindak tidak tergantung, mengembangkan serangkaian kegiatan dan menemukan cara-cara baru atau inovasi.

Sedangkan Keith Davis mengikhtisarkan empat ciri/sifat utama yang mempunyai pengaruh terhadap kesuksesan kepemimpinan organisasi:

(1) Kecerdasan,

(2) Kedewasaan dan keluasan hubungan sosial,

(3) Motivasi diri dan dorongan berprestasi, dan

(4) sikap-sikap hubungan manusiawi.

Ada banyak keterbatasan dalam pendekatan yang melihat sifat-sifat kepemimpinan. Sebagai contoh, telah banyak orang tahu tentang tokoh-tokoh seperti Napoleon, Alexander the Great, Abraham Lincoln, Soekarno, Mahatma Gandhi, Mao Tse-Tung, Adolf Hitler, Winston Churchill, Suharto, Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan sebagainya, yang dalam berbagai hal berbeda satu dengan yang lain. Namun, tidak tampak sifat-sifat kepemimpinan yang ditemukan secara umum pada semua tokoh tersebut. Dalam kenyataannya, banyak dari mereka mempunyai sifat yang berbeda. Ada juga berbagai kasus di mana seorang pemimpin sukses dalam suatu situasi tetapi tidak dalam situasi lain. Akhirnya, walaupun semua sifat yang dikemukakan para peneliti dapat menjadi yang diinginkan ada dalam diri pemimpin, tetapi tidak satupun sifat yang secara absolut esensial. Namun demikian sifat-sifat kepemimpinan perlu dikembangkan sebagi upaya untuk melahirkan pemimpin. Mengembangkan Sifat Kepemimpinan Sifat-sifat kepemimpinan harus dikembangkan sendiri karena sifat-sifat ini berbeda-beda pada setiap orang. Kesadaran bahwa Anda sendiri yang menentukan kadar kemampuan kepemimpinan Anda, akan membantu Anda dalam upaya melakukan perbaikan-perbaikan. Tidak ada cara terbaik untuk menjadi pemimpin. Para wirausaha adalah individu-individu yang telah mengembangkan gaya kepemimpinan mereka sendiri. Jika Anda meniru secara buta seorang pemimpin lain, atau seperangkat ciri-ciri ideal pemimpin, maka bakat dan keterampilan kepemimpinan Anda tidak akan pernah berkembang sepenuhnya. Keperibadian Anda akan ikut memengaruhi perilaku kepemimpinan Anda. Pekerjaan Anda sekarang harus dapat memberikan sejumlah peluang untuk mempraktekan kepemimpinan. Situasi untuk meningkatkan kemampuan kepemimpinan Anda dapat ditemui dalam kegiatan-kegiatan sehari-hari Anda dan dalam pergaulan Anda dengan karyawan Anda. Cara yang baik untuk mempraktekkan ketrampilan Anda adalah dengan menyadari adanya peluang peluang untuk menunjukkan kemampuan Anda memimpin dalam kegiatan sehari-hari. Uji coba kemampuan Anda dalam memimpin ini akan menyiapkan Anda untuk peranan kepemimpinan yang lebih penting. Sebagai seorang pemimpin Anda bertanggung jawab untuk mengembangkan karyawan dengan cara yang paling efektif. Karena karyawan merupakan harta yang paling penting dalam organisasi Anda, harus Anda putuskan bagaimana meningkatkan prestasi setiap orang. Setelah melakukan hal itu, Anda dapat merancangkan peluang-peluang bagi mereka untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuan individual mereka. Anda pun harus menilai pengalaman-pengalaman mereka untuk mengukur keberhasilan mereka dan kegiatan serta tanggungjawab tambahan yang dapat mereka pikul di masa depan.

Semakin Anda berkualitas sebagai seorang pemimpin, semakin besarlah ketergantungan Anda pada karyawan untuk mendukung dan memikul tanggungjawab Anda. Mendelegasikan tanggung jawab akan mengembangkan rasa percaya dan keyakinan yang diperlukan karyawan Anda untuk mencapai potensi mereka sepenuhnya. Kalau potensi karyawan Anda terwujud, maka potensi Anda sebagai pemimpin pun juga tercapai. Untuk sebagian besar, kepemimpinan adalah suatu sikap yang terlihat dalam ancangan para wirausaha terhadap pencapaian tugas-tugasnya. Pemimpin biasanya bersedia menerima tantangan yang mengandung baik risiko maupun peluang yang besar. Seorang pemimpin mengerti tugas keseluruhan yang harus dicapai dan seringkali memutuskan cara-cara baru dan inovatif untuk mencapainya. Suatu pedoman bagi kepemimpinan yang baik ialah “perlakukanlah orangorang lain sebagaimana Anda ingin diperlakukan“. Berusaha memandang suatu keadaan dari sudut pandang orang lain, akan ikut mengembangkan sebuah sikap tepo sliro.

2) Pendekatan Perilaku (Behavioral Approach)

Di akhir tahun 40-an, peneliti mulai mengeksplorasi pemikiran bahwa bagaimana seseorang berperilaku menentukan keefketifan kepemimpinan seseorang, dari pada berusaha menemukan sifat-sifat, maka selanjutnya para peneliti meneliti perilaku dan pengaruhnya pada prsetasi dan kepuasan dari pengikut-pengikutnya. Pada tahun 1947, Rensis Likert mulai mempelajari bagaimana cara yang paling baik unuk mengelola usaha dari individu-individu untuk mencapai kinerja dan kepuasan sebagaimana yang diinginkan. Tujuan dari kebanyakan penelitian kepemimpinan yang diilhami oleh Tim Likert di University of Michigan (UM) adalah untuk menemukan prinsip dan metode kepemimpinan yang efektif. Kriteria keefektifan yang digunakan dalam banyak studi tersebut adalah:

  1. Produktivitas per jam kerja, atau pengukuran lainnya yang mirip dari keberhasilan organisasi dalam mencapai tujuan-tujuan produksinya.
  2. Kepuasan kerja dari anggota organisasi.
  3. Tingkat turnover, absensi, dan sakit hati.
  4. Biaya
  5. Bahan terbuang
  6. Motivasi karyawan dan manajerial.

Studi dilakukan pada berbagai jenis organisasi: kimiawi, elektronik, makanan, peralatan berat, asuransi, petroleum, sarana umum, rumah sakit, bank, dan agen pemerintahan. Data didapat dari ribuan karyawan yang melakukanberbagai macam tugas, mulai dari pekerjaan yang tidak terampil sampai dengan pekerjaan penelitian dan pengembangan yang berketerampilan tinggi. Melalui wawancara dengan pemimpin dan pengikutnya, peneliti mengidentifikasikan dua gaya kepemimipinan yang berbeda, disebut sebagai job-centered/ berpusat pada pekerjaan dan employee-centered/ berpusat pada karyawan. Pemimpin yang job-centered/berpusat pada pekerjaan (tugas) menerapkan pengawasan ketat sehingga bawahan melaksanakan tugas dengan menggunakan prosedur yang telah ditentukan. Pemimpin ini mengandalkan kekuatan paksaan, imbalan, dan hukuman untuk memengaruhi sifat-sifat dan prestasi penngikutnya. Perhatian pada orang dilihat sebagai suatu hal mewah yang tidak dapat selalu dipenuhi pemimpin. Seorang pemimpin dengan orientasi pekerjaan/tugas cenderung menunjukkan pola-pola perilaku berikut :

  1. a) Merumuskan secara jelas peranannya sendiri maupun peranan staffnya.
  2. b) Menetapkan tujuan-tujuan yang sukar tetapi dapat dicapai, dan memberitahukan orang-orang apa yang diharapkan dari mereka.
  3. c) Menentukan prosedur-prosedur untuk mengukur kemajuan dan untuk mengukur pencapaian tujuan itu, yakni tujuan-tujuan yang dirumuskan secara jelas dan khas.
  4. d) Melaksanakan peranan kepemimpinan secara aktif dalam merencanakan, mengarahkan dan membimbing, dan mengendalikan kegiatan-kegiatan yang berorientasi pada tujuan.
  5. e) Berminat mencapai peningkatan produktivitas.

Pemimpin yang kadar orientasi-pekerjaannya rendah cenderung menjadi tidak aktif dalam mengarahkan perilaku yang beorientasi tujuan, seperti perencanaan dan penjadwalan. Mereka cenderung bekerja seperti para karyawan lain dan tidak membedakan peranan mereka sebagai pemimpin organisasi secara jelas.

Pemimpin yang berpusat orang/karyawan, percaya dalam mendelegasikan pengambilan keputusan dan membantu penngikutnya dalam memuaskan kebutuhannya dengan cara membentuk suatu lingkungan kerja yang suportif. Pemimpin yang berpusat pada karyawan memiliki perhatian dan memotivasi terhadap kemajuan, pertumbuhan, dan prestasi pribadi pengikutnya dan membina hubungan manusiawi. Tindakan-tindakan ini diasumsikan dapat memajukan pembentukan dan perkembangan kelompok. Orang-orang yang kuat dalam orientasi-orang cenderung menunjukkan pola-pola perilaku berikut :

  1. a) Menunjukkan perhatian atas terpeliharanya keharmonisan dalam organisasi dan menghilangkan ketegangan, jika timbul.
  2. b) Menunjukkan perhatian pada orang sebagai manusia dan bukan sebagai alat produksi saja.
  3. c) Menunjukkan pengertian dan rasahormat pada kebutuhan-kebutuhan, tujuan-tujuan, keinginan-keinginan, perasaan dan ide-ide karyawan.
  4. d) Mendirikan komunikasi timbal balik yang baik dengan staff.
  5. e) Menerapakan prinsip penekanan ulang untuk meningkatkan prestasi karyawan. Prinsip ini menyatakan bahwa perilaku yang diberi imbalan akan bertambah dalam frekuensinya, dan bahwa perilaku yang tidak diberi imbalan (dihukum) akan berkurang dalam frekuensinya.
  6. f) Mendelegasikan kekuasaan dan tanggungjawab, serta mendorong inisiatif.
  7. g) Menciptakan suatu suasana kerjasama dan gugus kerja dalam organisasi.

Pemimpin yang orientasi-orangnya rendah cenderung bersikap dingin dalam hubungan dengan karyawan mereka, memusatkan perhatian pada prestasi individu dan persaingan ketimbang kerjasama, serta tidak mendelegasikan kekuasan dan tanggungjawab. Orang-orang yang orientasi-orangnya tinggi belum tentu merupakan orang-orang yang ramah dan sosial; melainkan mereka dapat menangani pelbagai macam orang dengan efektif. Mereka menunjukkan ketrampilan yang tinggi dalam bidang hubungan antar manusia. Dalam hubungan mereka dengan karyawan, mereka cenderung memberikan nasehat, mengkoordinasi, mengarahkan dan mengambil inisiatif daripada mengkritik, melarang dan menghakimi. Mereka bersifat membujuk ketimbang menghukum. Mereka memberikan pengaruh kuat dan pengarahan yang kuat namun dengan cara yang tidak menimbulkan dendam.

Ciri-ciri umum yang terdapat pada pemimpin yang orientasi-karyawannya tinggi meliputi hal-hal sebagai berikut :

  1. a) Mereka mengerti kebutuhan, tujuan-tujuan, nilai-nilai, batas-batas

dan kemampuan mereka sendiri. Pengertian dan pengetahuan tentang diri sendiri ini merupakan suatu prasyarat yang diperlukan untuk hubungan yang baik dengan orang lain.

  1. b) Mereka peka terhadap kebutuhan orang lain; mereka membantu orang untuk memenuhi kebutuhan ini. Melalui berkomunikasi dengan para karyawan mereka, para pemimpin dapat mengarahkan usaha-usahanya secara lebih efektif sehingga tujuan perusahaan dan kebutuhan karyawan, kedua-duanya berjalan seiring.
  2. c) Mereka dapat menerima dan menghargai nilai-nilai dan gaya hidup yang berlainan. Mereka menunjukkan kemampuan dan kesediaan untuk berhubungan dengan orang-orang yang sama sekali berbeda dengan mereka.
  3. d) Mereka melibatkan para karyawan mereka dalam tujuan perusahaan dengan memahami kebutuhan-kebutuhan mereka dan mendelegasikan kekuasaan serta membagi tanggungjawab.
  4. e) Mereka memiliki ketrampilan berkomunikasi yang baik, mereka mendengarkan, mengajukan pertanyaan, berdiskusi dan berdebat, dan menggunakan informasi yang mereka terima untuk mengarahkan dan melibatkan karyawan mereka dalam tindakan yang efektif.

3) Pendekatan Situasional – Contingency

Pendekatan kesifatan dan perilaku belum sepenuhnya dapat menjelaskan kepemimpinan. Di samping itu, sebagian besar penelitian menyimpulkan bahwa tidak ada satupun gaya kepemimpinan yang tepat bagi setiap manajer di bawah seluruh kondisi. Maka teori kepemimpinan situasional mengusulkan bahwa keefektifan kepemimpinan tergantung pada kesesuaian antara kepribadian, tugas, kekuatan, sikap, persepsi dan situasi. Teori situasional yang terkenal adalah: (1) rangkaian kesatuan kepemimpinan dari Tannembaum dan Schmidt, (2) toeri “contingency” dari Fiedler, dan (3) teori siklus-kehidupan dari Harsey dan Blanchard.

Faktor-faktor yang Memengaruhi Perilaku Kepemimpinan

Mary Parker Follet, yang mengembangkan Hukum Situasi, mengatakan bahwa ada tiga variabel kritis yang memengaruhi gaya kepemimpinan, yaitu (1) pemimpin, (2) pengikut atau bawahan, dan (3) situasi.  Follett juga menyatakan bahwa para pemimpin seharusnya berorientasi pada kelompok dan bukan berorientasi pada kekuasaan.

Teori “Contingency” dari Fiedler Suatu teori kepemimpinan yang komplek dan menarik adalah contingency model of leadership effectiveness dari Fred Fiedler. Pada dasarnya, teori ini menyatakan bahwa efekivitas suatu kelompok atau organisasi tergantung pada interaksi antara kepribadian pemimpin dan sitasi. Situasi dirumuskan dengan karakteristik: (1) Derajat situasi di mana pemimpin menguasai, mengendalikan dan memengaruhi situasi, dan (2) derajat situasi yang mengahadapkan manajer dengan ketidak pastian. Fiedler mengidentifikasikan ketiga unsur dalam situasi kerja ini untuk membantu menentukan gaya kepemimpinan mana yang akan efektif yaitu hubungan pimpinan anggota, struktur tugas, dan posisi kekuasaan pemimpin yang didapatkan dari wewenang formal. Studi Fiedler ini tidak melibatkan variabel-variabel situasional lainnya, seperti motivasi dan nilai-nilai bawahan, pengalaman pemimpin dan anggota kelompok. Sitasi dinilai dalam istilah situasi yang menguntungkan atau tidak menguntungkan.

SIMPULAN

Seorang pemimpin yang efektif akan selalu mencari cara-cara yang lebih baik. Seseorang dapat menjadi pemimpin yang berhasil, jika percaya pada pertumbuhan yang berkesinambungan, efesiensi yang meningkat dan keberhasilan yang berkesinambungan dari perusahaan yang dipimpin. Pimpinan organisasi perusahaan merupakan unsur pokok dan sumber yang langka di dalam setiap perusahaan

Ada tiga implikasi penting yang tercakup dalam kepemimpinan dari beberapa definisi  yaitu: Pertama, kepemimpinan melibatkan orang lain, Kedua kepemimpinan menyangkut pembagian kekuasaan, Ketiga kepemimpinan menyangkut penanaman pengaruh.

Ciri-ciri umum yang terdapat pada pemimpin yang orientasi-karyawannya tinggi meliputi hal-hal sebagai berikut :

  1. a) Mereka mengerti kebutuhan, tujuan-tujuan, nilai-nilai, batas-batas

dan kemampuan mereka sendiri. Pengertian dan pengetahuan tentang diri sendiri ini merupakan suatu prasyarat yang diperlukan untuk hubungan yang baik dengan orang lain.

  1. b) Mereka peka terhadap kebutuhan orang lain; mereka membantu orang untuk memenuhi kebutuhan ini. Melalui berkomunikasi dengan para karyawan mereka, para pemimpin dapat mengarahkan usaha-usahanya secara lebih efektif sehingga tujuan perusahaan dan kebutuhan karyawan, kedua-duanya berjalan seiring.
  2. c) Mereka dapat menerima dan menghargai nilai-nilai dan gaya hidup yang berlainan. Mereka menunjukkan kemampuan dan kesediaan untuk berhubungan dengan orang-orang yang sama sekali berbeda dengan mereka.
  3. d) Mereka melibatkan para karyawan mereka dalam tujuan perusahaan dengan memahami kebutuhan-kebutuhan mereka dan mendelegasikan kekuasaan serta membagi tanggungjawab.
  4. e) Mereka memiliki ketrampilan berkomunikasi yang baik, mereka mendengarkan, mengajukan pertanyaan, berdiskusi dan berdebat, dan menggunakan informasi yang mereka terima untuk mengarahkan dan melibatkan karyawan mereka dalam tindakan yang efektif.

 

7 Desember, 2017 at 6:21 am

Tidak Berbadan Hukum Kok Diberi Dana Hibah?

Oleh H. Slamet Hariyanto, S.Pd, SH, MH.
Pemred Media Online suaraguruwordpress.com

(lebih…)

20 November, 2017 at 3:25 pm

Pembelajaran Geografi dari media tunggal menuju multimedia

Oleh: Silivester Kiik SPd MPd
Penulis berasal dari Desa Tunmat, Kec. Io Kufeu, Kab. Malaka, Prop. NTT)

 

 

Pengantar redaksi:

*Jurnal dengan Judul: Pembelajaran Geografi dari Media Tunggal Menuju Multimedia (Termuat pada Google Cendekia Melalui Penerbit INA-Rxiv pada Tanggal 25 Agustus 2017 dengan Paper DOI 10.17605/OSF.IO/ZJ7SE. Oleh penulisnya, naskah ini dikirim ke radksi SuaraGuru.WordPress.Com

Abstrak: Refleksi pembelajaran geografi dalam satu dasa warsa terakhir menunjukkan kemerosotan pada pengetahuan, sikap, dan keterampilan siswa akibat media tunggal sebagai peran penting dalam proses pembelajaran. Kemerosotan tersebut menguatkan pentingnya pembelajaran dengan menerapkan multimedia sebagai media pembelajaran. Hasil kajian terhadap pembelajaran multimedia menunjukkan: pertama, mampu meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Kedua, mampu meningkatkan daya ingat siswa terhadap isi/materi pelajaran. Ketiga, mampu meningkatkan keaktifan berpikir siswa. Apabila pembelajaran multimedia dapat dikembangkan dengan baik, maka tujuan pembelajaran diharapkan dapat tercapai secara efektif dan efisien.

Kata kunci: pembelajaran geografi, media tunggal, multimedia

PENDAHULUAN

Penguatan pembelajaran multimedia semakin disadari sejak beberapa tahun terakhir oleh guru sebagai pengelola kelas dalam membantu siswa belajar daripada guru mengajar (Hamalik, 2008; Ningrum dkk, 2013). Kesadaran itu tumbuh karena keprihatinan terhadap kemerosotan motivasi dan hasil belajar geografi yang terjadi di jenjang sekolah menengah, terutama siswa dalam proses pembelajaran terkesan membosankan dan jenuh serta materi pembelajaran tidak dicermati dengan baik oleh siswa. Hal tersebut dirasakan sangat merosot pengetahuan dan pengalaman belajarnya serta akan berdampak bagi masa depan siswa itu sendiri.

Keberadaan multimedia dalam pembelajaran menjadi penting sebab dengan adanya multimedia maka materi pembelajaran geografi dapat tersampaikan lebih konkret. Penggunaan multimedia dapat meningkatkan efektifitas dari penyampaian suatu informasi (Arifin, 2012; Hasrul 2010). Multimedia yang baik adalah multimedia yang mampu menghadirkan dan membangkitkan dimensi-dimensi kognitif, afektif dan psikomotor siswa, sehingga melalui media tersebut akan diperoleh pengalaman belajar yang berkesan oleh siswa.

Kehadiran media dalam proses pembelajaran mempunyai fungsi yang cukup penting, karena dalam kegiatan tersebut ketidakjelasan bahan yang disampaikan guru dapat dibantu dengan menghadirkan media sebagai perantara. Kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada siswa dapat disederhanakan dengan bantuan media. Menurut Amrulloh, dkk (2013) media pembelajaran berfungsi untuk mempermudah siswa dalam memahami suatu materi. Penggunaan media dalam proses pembelajaran yang berpusat pada siswa akan berdampak positif bagi prestasi belajarnya. Pekerjaan guru adalah mengkomunikasikan pengalaman kepada siswa, dan guru berperan sebagai fasilitator, mediator, dan evaluator.

Kegiatan proses pembelajaran geografi yang terjadi selama ini sebagian besar guru hanya menyajikan informasi dalam bentuk verbal sehingga kurang efektif bagi siswa, hanya mengandalkan papan tulis sebagai media utama, hanya memfasilitasi siswa yang memiliki cara belajar audio, sedangkan siswa dengan tipe belajar yang lain tidak maksimal. Ibrahim (2010) mengemukakan bahwa ketersediaan media pembelajaran akan memperluas kesempatan belajar tidak hanya terbatas pada siswa dengan tipe belajar verbal tapi juga siswa-siswa dengan tipe belajar yang lain seperti kinestetik, audio, musikal dan lain sebagainya. Sedangkan menurut Susilana (2007) manfaat media pembelajaran dapat memperjelas pesan agar tidak terlalu verbalistis.

Media yang digunakan haruslah tepat dan efektif agar siswa dapat dengan mudah menangkap pesan dan kesan pembelajaran serta menguasai kompetensi yang diharapkan. Media pembelajaran yang baik adalah media yang dapat dipersepsi dengan baik oleh siswa. Persepsi dimaknai sebagai proses kognitif yang dialami seseorang dalam memahami pesan/informasi dari lingkungan melalui indera penglihatan, pendengaran, perabaan, perasaan, maupun penciuman. Persepsi seseorang dipengaruhi oleh tingkat kebutuhannya terhadap sesuatu, artinya seseorang akan memberikan reaksi positif apabila hal itu merupakan kebutuhan baginya. Agar pembelajaran geografi menarik minat dan perhatian siswa, guru harus menyediakan media yang memadai berupa multimedia.

 

Pembelajaran Geografi dengan Media Tunggal

Media tunggal merupakan alat yang dapat digunakan dalam menyampaikan materi pembelajaran. Media tunggal sebagai sarana untuk memberikan pesan dari guru kepada siswa tanpa adanya umpan balik. Papan tulis digunakan sebagai media yang dianggap dapat memberikan semua pesan guru. Pesan disampaikan secara monoton oleh guru kepada siswa, dan siswa tidak dapat atau tidak mempunyai kesempatan untuk memberikan umpan balik atau bertanya. Guru juga menerapkan sistem komunikasi satu arah yang bisa dikatakan sebagai komunikasi yang tidak memberi kesempatan kepada siswa untuk memberikan tanggapan atau sanggahan.

Kegiatan proses pembelajaran yang dilaksanakan setiap hari merupakan kehidupan dari sebuah kelas, di mana guru dan siswa saling terkait dalam pelaksanaan kegiatan yang telah direncanakan oleh guru. Keberhasilan kegiatan tersebut sepenuhnya menjadi tanggung jawab guru, karena guru merupakan pengelola tunggal di dalam kelas. Dalam proses pembelajaran harus terjadinya interaksi antara guru dan siswa yaitu proses penyampaian pesan berupa informasi atau keterangan dari pengirim (sumber pesan/guru) kepada penerima pesan (siswa).

Keberhasilan pembelajaran di kelas ditentukan oleh berbagai faktor diantaranya, bagaimana strategi penyampaian materi dapat dilaksanakan secara efektif dan efesien dalam mencapai tujuan pembelajaran. Guru yang baik senantiasa mencari berbagai kemungkinan dalam strategi penyampaian materi pembelajaran. Hal ini dimaksudkan agar guru tidak terjebak dalam rutinitas mengajar yang membosankan, dan akan mengakibatkan suatu kondisi kelainan psikis guru yang negatif yang tidak diharapkan seperti mudah marah, egois dan lain-lain (Barlow, 1985). Jika demikian adanya maka jangan harap pendidikan akan berlangsung dengan baik.

Kelebihan media tunggal adalah sebagai berikut: 1) tidak memerlukan banyak pekerjaan dan persiapan, 2) penyajian pelajaran dapat dilakukan dengan jelas oleh guru selangkah demi selangkah dan secara sistematis, 3) dapat menjelaskan hal-hal sesaat (misalnya untuk menjawab pertanyaan), 4) apabila terdapat kekeliruan atau kesalahan dapat dilihat dan segera diperbaiki oleh guru secara langsung, 5) merangsang siswa untuk dapat belajar secara efektif, 6) siswa dapat melihat dan dapat membaca dengan jelas apa yang ditulis oleh guru di papan tulis, dan 7) memotivasi siswa untuk terbiasa bekerja pada papan tulis.

Sedangkan kekurangan dari media tunggal adalah sebagai berikut: 1) guru merasa tidak tenang apabila menggunakan papan tulis, merasa tidak mempunyai kecakapan menulis, dan menyebabkan keragu-raguan serta timbul rasa segan untuk menggunakan papan tulis sebagai media pembelajaran, 2) materi pembelajaran tidak dicermati dengan baik oleh siswa, 3) siswa merasa bosan dan jenuh, 4) tidak membangun pengetahuan siswa, 5) konsentrasi siswa hanya berfokus pada bunyi bel sekolah untuk pulang.

Pembelajaran geografi dengan menerapkan media tunggal lebih difokuskan pada guru. Guru memiliki kebiasaan masuk ke kelas meminta siswa membuka buku pada halaman tujuan untuk memulai proses pembelajaran, kemudian melanjutkannya dengan penjelasan/ceramah yang diselingin dengan tanya jawab. Kesimpulan hasil belajar juga disampaikan secara lisan. Guru ke luar kelas dalam keyakinan penuh bahwa siswa yang dibimbingnya telah menyerap dengan baik proses pembelajaran yang dibimbingnya.

Guru yang demikian melupakan konsep multiple intelligence dan cara belajar yang berbeda dan khas pada setiap individu. Tidak semua siswa memiliki dominasi cara belajar yang bersifat audio. Siswa yang memiliki kemampuan audio yang dominan tentu akan puas dan baik kompetensinya dengan cara tersebut, namun siswa yang cenderung ke pembelajaran visual dan kinestetik tidak akan memperoleh kompetensi yang memadai melalui proses pembelajaran yang dibimbing oleh guru tersebut.

Pembelajaran geografi harus mengarahkan siswa untuk berpikir kreatif sesuai dengan kenyataan yang terjadi. Siswa aktif belajar dibantu oleh media yang didesain oleh guru, di mana media tersebut dapat memberikan ide-ide yang kontekstual terhadap isi materi pelajaran. Sudah menjadi keharusan dengan tersedianya media dalam proses pembelajaran geografi. Guru sebagai fasilitator bertugas untuk mempelajari bagaimana menetapkan dan menggunakan media pembelajaran agar dapat mengefektifkan pencapaian tujuan pembelajaran dalam proses pembelajaran. Secara otomatis penggunaan media yang baik akan memberi manfaat yang banyak bagi siswa.

Pembelajaran Geografi dengan Multimedia

Seorang guru dalam melaksanakan proses pembelajaran harus memiliki gagasan yang ditunjukkan dalam desain pembelajaran, sebagai titik awal dalam melaksanakan komunikasi dengan siswa. Oleh karena itu, diperlukan pemahaman tentang unsur-unsur yang dapat menunjang proses komunikasi serta tujuan dari komunikasi tersebut. Agar proses komunikasi proses pembelajaran berjalan secara efektif dan efisien, guru perlu menggunakan media untuk merangsang siswa dalam belajar. Jadi, pada prinsipnya media bermanfaat untuk menunjang proses pembelajaran, hal ini bukan saja membuat penyajian menjadi lebih konkret, tetapi juga ada beberapa kegunaan yang lain.

Multimedia merupakan alat yang dapat menciptakan presentasi yang dinamis dan interaktif yang mengkombinasikan teks grafik, animasi, audio dan video. Istilah multimedia berkenaan dengan penggunaan berbagai jenis/bentuk media secara berurutan maupun simultan dalam menyajikan suatu informasi. Secara etimologis multimedia berasal dari bahasa Latin yang terdiri atas dua kata yaitu multi yang berarti banyak atau bermacam-macam dan medium yang diartikan sebagai perantara atau pengantar terjadinya komunikasi dari pengirim menuju ke penerima (Heinich dkk, 1996).

Konsep multimedia didefinisikan oleh Haffost (dalam Munir, 2008) sebagai suatu sistem komputer yang terdiri dari hardware dan software yang memberikan kemudahan untuk menggabungkan gambar, video, fotografi, grafik, animasi, suara, teks, dan data yang dikendalikan oleh komputer. Sejalan dengan hal tersebut, Robin dan Linda (2001) mengemukakan bahwa multimedia merupakan alat yang dapat menciptakan presentasi yang dinamis dan interaktif yang mengkombinasikan teks grafik, animasi, audio dan video. Oleh karena itu multimedia merupakan salah satu sumber pengajaran atau media alternatif dalam pembelajaran geografi yang dapat memadukan dan mengaitkan unsur lingkungan fisik dan manusia dalam dimensi keruangan.

Multimedia merupakan kombinasi dari berbagai jenis media seperti teks, grafik, suara, animasi dan video dalam aplikasi komputer (Merril dkk, 1996). Pengertian yang sama diungkapkan oleh Hackbarth (1996) yaitu:

Multimedia is suggested as meaning the use of multiple media formats for the presentation of information, including texts, still or animated graphics, movie segments, video, and audio information. Computer-based interactive multimedia includes hypermedia and hypertext. Hypermedia is a computer-based system that allows interactive linking of multimedia format information including text, still or animated graphic, movie segments, video, and audio. Hypertext is a non-linier organized and accessed screens of text and static diagrams, pictures, and tables.

Lebih lanjut Hofstetter yang dikutip Suyanto (2005) menyatakan ada empat komponen penting multimedia yaitu: (1) harus ada komputer yang mengkoordinasikan apa yang dilihat dan didengar, dan berinteraksi dengan pengguna, (2) harus ada link yang menghubungkan kita dengan informasi, (3) harus ada alat navigasi yang memandu pengguna menjelajah jaringan informasi, (4) multimedia menyediakan tempat kepada pengguna untuk mengumpulkan, memproses, mengomunikasikan informasi dan ide.

Pembelajaran dengan suasana kebebasan (permissive) memberikan seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukan eksplorasi dan mengembangkan kemampuan diri. Sementara kewajiban guru harus dapat menumbuhkan daya cipta melalui sesuatu yang dengan sadar dan dirancang untuk pencapaian tujuan pembelajaran (learning resources by design). Pembelajaran menggunakan media termasuk pengajaran direncanakan secara intensional. Media pembelajaran adalah segala sesuatu yang digunakan untuk menyalurkan pesan yang dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan siswa sehingga dapat mendorong siswa untuk belajar.

Johan Amos Comenius, dengan teori “Dikdaktik Realisme” (Sudjana, 1989) menyatakan: 1) pengajaran yang diutamakan adalah adalah pengajaran yang bersifat kenyataan, bukan hanya kata-kata hampa yang bersifat verbalistik, 2) pengajaran yang baik melalui media, yaitu pendayagunaan alat-alat penginderaaan, 3) pelajaran disampaikan secara induktif, dimulai dari peristiwa nyata, meningkat ke umum, kesimpulan atau dalil yang abstrak, 5) pengajaran harus maju teratur dari pelajaran yang mudah menuju yang sukar.

Pembelajaran berbantuan multimedia dalam proses pembelajaran geografi dapat diartikan sebagai aplikasi multimedia yang digunakan dalam menyalurkan pesan (pengetahuan, keterampilan dan sikap) serta dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian, dan kemauan belajar sehingga terjadi proses belajar yang sesuai tujuan dan terkendali (Istiyanto, 2011). Menurut Mayer (2009), asumsi yang mendasari teori kognitif tentang multimedia learning, yakni dual-channel (saluran ganda), limited capacity (kapasitas terbatas), dan active-processing (pemrosesan aktif). Asumsi saluran ganda (dual channel assumption) menyatakan bahwa manusia memiliki saluran terpisah bagi pemrosesan informasi untuk materi visual dan materi auditori. Informasi berupa kata-kata diterima oleh mata dan telinga, sedangkan gambar diterima oleh mata yang merupakan memori sensorik. Setelah diseleksi oleh memori sensorik, informasi diteruskan ke memori kerja. Dalam memori kerja, informasi diorganisasikan untuk diintegrasikan yang selanjutnya diteruskan ke memori jangka panjang.

Menurut Sweller (2009), jika kapasitas kognitif siswa kelebihan beban (overload cognitive) maka pembelajaran akan terganggu. Sehingga untuk mengatasi kesulitan belajar siswa antara lain melalui pembelajaran yang efektif dengan mengelola beban kognitif intrinsic, mengurangi beban kognitif extraneous dan meningkatkan beban kognitif germane (Kalyuga, 2009). Mayer dan Moreno (2010) menegaskan bahwa untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif dapat dibantu dengan multimedia, karena multimedia efektif untuk mengelola beban kognitif intrinsic, mengurangi beban kognitif extraneous dan meningkatkan beban kognitif germane.

Teori belajar kognitif menekankan skema pelajar terorganisir sebagai struktur pengetahuan (Bruner, 1990; Gagne dkk, 1993). Tidak seperti behaviorisme, kognitivisme mengakui bahwa pikiran manusia bukan hanya penerima pasif pengetahuan. Sebaliknya, siswa menafsirkan pengetahuan dan memberi makna untuk itu (Hadjerroit, 2008). Mereka menunjukkan bagaimana seorang siswa memandang, proses, menafsirkan dan mengambil informasi terutama berkaitan dengan perubahan dalam pemahaman siswa yang dihasilkan dari pembelajaran. Siswa terlibat dalam proses pembelajaran, sehingga guru harus menyajikan informasi yang terorganisir dalam cara berhubungan dengan siswa. Shuell (1986) menekankan bahwa pendekatan kognitif menekankan belajar sebagai sebuah konstruktif dan proses berorientasi tujuan aktif yang tergantung pada aktivitas mental dari siswa.

Teori belajar konstruktivis memandang pengetahuan sebagai entitas yang dibangun oleh setiap siswa melalui proses pembelajaran. Pembelajaran konstruktivis mengharuskan siswa untuk menunjukkan kemampuan mereka dengan membangun pengetahuan mereka sendiri ketika memecahkan masalah di dunia nyata. Model konstruktivis sebagai instruksi yang berpusat pada siswa, karena siswa diasumsikan untuk belajar lebih baik ketika mereka diajak untuk mengeksplorasi dan menemukan hal-hal yang baru.

Siswa dipimpin untuk aktif membangun ide-ide baru menggunakan pengetahuan sebelumnya dan pengalaman yang diperoleh. Selama proses pembelajaran, guru berperan sebagai fasilitator, mengoreksi, mendorong pemahaman baru, dan menciptakan sikap sosial antar siswa. Siswa pada gilirannya mengambil tanggung jawab belajar dengan aktif berpartisipasi dalam kegiatan pembelajaran dan ditempatkan sebagai pusat proses pembelajaran.

Dimensi proses pengetahuan terbagi dalam tiga yaitu kognitif, afektif dan psikomotor (Anderson & Krathwohl, 2001) ranah kognitif terbagi dalam enam tingkat yaitu : 1) mengingat (remember): mengambil, mengakui, dan mengingat pengetahuan yang relevan dari memori jangka panjang, 2) memahami (understand): membangun makna dari lisan, pesan tertulis, dan grafis melalui menafsirkan, mencontohkan, mengklasifikasi, meringkas, menyimpulkan, membandingkan, dan menjelaskan, 3) menerapkan (apply): melaksanakan atau menggunakan prosedur melalui pelaksana, atau menerapkan, 4) menganalisis (analyze): breaking materi menjadi bagian-bagian penyusunnya, menentukan bagaimana bagian-bagian berhubungan satu sama lain dan yang secara keseluruhan struktur atau tujuan melalui membedakan, mengorganisasikan, dan menghubungkan, 5) evaluasi (evaluate): membuat penilaian berdasarkan kriteria dan standar melalui memeriksa dan mengkritisi, dan 6) menciptakan (create): menempatkan elemen bersama-sama untuk membentuk suatu kesatuan yang utuh atau fungsional, reorganisasi elemen ke pola baru atau struktur melalui menghasilkan, perencanaan, atau menghasilkan.

Multimedia memiliki kelebihan dalam proses pembelajaran sebagai berikut: 1) meningkatkan aliran gagasan dan informasi, 2) merupakan cara yang kaya untuk mengkomunikasikan sesuatu, 3) mendorong partisipasi, keterlibatan, dan eksplorasi pengguna, 4) menstimulasi panca indera, 5) meningkatkan pengetahuan, 6) membawa dunia nyata di dalam kelas, 7) siswa semangat dan aktif dalam proses pembelajaran. Sedangkan kekurangan multimedia adalah sebagai berikut: 1) desain yang buruk akan menyebabkan kebingungan dan kebosanan atau pesan yang tidak tersampaikan dengan baik, 2) kendala bagi orang yang memiliki keterbatasan seperti cacat fisik, 3) tuntunan terhadap spesifikasi komputer yang memadai.

Penggunaan multimedia yang interaktif tidak terlepas dari penggunaan komputer sebagai media karena multimedia interaktif hanya dapat di jalankan melalui komputer atau teknologi berbasis komputer, sehingga selain pengadaan komputer dan program sebagai media juga dibutuhkan keterampilan dalam mengoperasikan komputer. Dalam penggunaan multimedia sangat bergantung pada jenis materi/content yang akan diberikan terutama dalam materi-materi pelajaran geografi.

Pergeseran Pembelajaran Geografi dari Media Tunggal Menuju Multimedia

Karakteristik materi geografi adalah berupa fakta, konsep, prinsip, dan proses dari gejala-gejala hidup, serta seluk beluk yang mempengaruhi hidup termasuk interaksinya dengan lingkungan. Materi geografi terus mengalami perkembangan sejalan dengan penemuan-penemuan baru dalam bidang geografi dan cabang-cabangnya, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Materi geografi dapat dipandang sebagai suatu yang sederhana, namun dapat juga dipandang sebagai sesuatu yang sangat rumit dan kompleks. Mengajarkan geografi yang rumit dan kompeks memerlukan media dalam pembelajarannya.

Dewasa ini terjadinya perkembangan geografi dan dan teknologi geografi yang semakin pesat. Keadaan ini mendorong para guru geografi untuk melakukan pembaharuan dalam pemanfaatan hasil-hasil teknologi dalam proses pembelajaran geografi. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam pemanfaatan teknologi komunikasi. Dari sekian banyak produk teknologi komunikasi yang dapat dimanfaatkan dalam dunia pendidikan dan pembelajaran geografi adalah dalam penggunaan multimedia. Dengan demikian, dalam proses pembelajaran geografi, guru tidak hanya menggunakan media tunggal, tetapi sebaiknya menggunakan multimedia. Ngalim (1992) menyatakan bahwa proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses komunikasi, yaitu proses penyampaian pesan dari sumber pesan melalui saluran atau media tertentu ke penerima pesan.

Agar mempermudah siswa dalam menerima materi pelajaran geografi perlu dibantu dengan media pembelajaran. Gejala dan fakta yang terdapat dalam alam dan lingkungan sekitarnya akan lebih menarik disampaikan guru kepada siswa bila dengan menggunakan media. Pentingnya media pembelajaran digunakan agar siswa menjadi lebih tertarik dalam proses pembelajaran. Masalahnya, adalah bagaimana guru geografi dapat melakukan inovasi terutama dalam menggunakan media dalam setiap pembelajaran geografi. Ini memerlukan kreativitas guru geografi dalam memproduksi dan memanfaatkan media dalam setiap berlangsungnya pembelajaran.

Keluhan guru geografi terutama yang mengajar pada sekolah yang minim fasilitasnya adalah sulitnya memberikan pemahaman materi kepada siswa dengan menggunakan media. Kebanyakan guru mengajar tanpa menggunakan media, karena media tidak cukup tersedia untuk semua materi pelajaran. Jadi, pembelajaran geografi berlangsung dengan ceramah tanpa menggunakan media, sehingga siswa mengalami kesulitan dalam memahami isi materi pelajaran. Mereka hanya dapat menghayalkan saja apa yang dikatakan oleh guru. Paling tidak guru hanya menggunakan gambar yang dibuatnya di papan tulis. Keadaan seperti ini bila dipertahankan terus dapat memberikan kesan bahwa materi geografi itu sulit dipahami.

Guru geografi memiliki peran yang sangat penting dalam pemanfaatan media. Kreativitas sangat dituntut bagi guru geografi agar mereka dapat menciptakan media pembelajaran geografi yang menarik. Apalagi, sekarang ini guru geografi tidak hanya dapat menghandalkan media tunggal dalam proses pembelajaran. Setidak-tidaknya guru geografi dapat memanfaatkan berbagai bentuk media pembelajaran untuk mempermudah penyampaian isi materi pelajaran.

Guru memiliki peran yang sangat penting dalam proses pembelajaran. Siswa dikatakan belajar memerlukan media agar mereka mudah memahami materi pelajaran. Alat indera seperti penglihatan dan pendengaran merupakan bagian yang terpenting untuk belajar. Apabila mekanisme mata atau telinga kurang berfungsi, maka tanggapan yang disampaikan dari dunia luar umpamanya dari guru, tidak mungkin dapat diterima oleh orang yang bersangkutan. Oleh sebab itu, siswa tidak dapat menerima dan memahami bahan-bahan pelajaran dengan baik dan sempurna bila alat indera seperti mata dan telinga ini terganggu (Majid, 2007). Untuk melihat sejauh mana tujuan pengajaran telah dapat dicapai atau materi pelajaran telah dikuasai oleh siswa maka dapat diketahui dalam bentuk hasil belajar yang diperlihatkan setelah mereka menempuh proses pembelajaran.

Mengajar dapat dipandang sebagai usaha yang dilakukan guru agar siswa belajar. Belajar pada dasarnya adalah upaya untuk memperoleh pengalaman dalam perubahan tingkah laku. Untuk mempermudah memperoleh pengalaman langung ini, seseorang yang belajar membutuhkan perantara dalam memahami materi pelajaran. Di sinilah pentingnya media pembelajaran (Hasruddin, 2009). Menurut Hamalik (2008) bahwa pemakaian media pembelajaran dapat membangkitkan keinginan dan minat yang baru, membangkitkan motivasi, rangsangan kegiatan belajar, dan bahkan membawa pengaruh psikologis terhadap siswa.

Kehadiran media mempunyai arti yang cukup penting karena kerumitan bahan yang akan disampaikan kepada siswa dapat disederhanakan dengan bantuan media. Media merupakan alat yang digunakan sebagai perantara untuk menyampaikan pesan dan dapat merangsang pikiran, perasaan dan kemajuan audiens (siswa) sehingga dapat mendorong terjadinya proses pembelajaran (Majid, 2007). Media sebagai alat bantu dalam proses belajar mengajar adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri. Pada kenyataannya memberikan pengalaman langsung kepada siswa bukan sesuatu yang mudah bukan hanya menyangkut segi perencanaan dan waktu saja yang menjadi kendala, akan tetapi memang ada sejumlah pengalaman yang sangat tidak mungkin dipelajari secara langsung oleh siswa. Melihat pentingnya penggunaan media dalam pembelajaran, maka menurut Sanjaya (2008) bahwa fungsi dan peranan media dalam pembelajaran adalah: 1) menangkap suatu objek atau peristiwa-peristiwa tertentu, 2) memanipulasi keadaan, peristiwa, atau objek tertentu, dan 3) menambah gairah dan memotivasi belajar siswa. Dalam penggunaan media belajar pada prinsipnya adalah bagaimana siswa dapat dengan lebih mudah dalam belajar. Dengan adanya media siswa menjadi terangsang untuk lebih mencari tahu tentang materi yang diajarkan guru.

KESIMPULAN

Penggunaan multimedia dalam pembelajaran geografi saat sekarang ini sudah saatnya dilakukan. Guru geografi tidak wajar lagi dalam mengajar tanpa menggunakan media. Pembelajaran geografi akan menjadi lebih kontekstual, karena materi yang diajarkan sangat berkaitan langsung dengan kehidupan nyata siswa. Guru geografi harus kreatif dalam menciptakan dan menggunakan media pembelajaran. Dalam proses pendidikan modern sekarang ini penggunaan multimedia tidak menjadi asing lagi. Dengan penggunaan multimedia ini, diharapkan proses pembelajaran geografi akan semakin berkualitas dan pada akhirnya akan terjadi peningkatan kualitas sumber daya manusia secara keseluruhan.

Pembelajaran geografi di sekolah membutuhkan sentuhan baru dalam kemasan proses pembelajarannya agar pembelajaran geografi lebih menarik dan minat siswa dapat meningkat. Namun tidak mengesampingkan tujuan serta hasil yang ingin dicapai. Salah satu usaha yang dilakukan yaitu dengan penggunaan multimedia, di mana dalam prosesnya dapat melibatkan siswa dan media secara lansung dan interaktif. Pengalaman siswa akan lebih bertambah dan siswa tidak akan terpaku kepada materi yang ada, akan tetapi dapat memilih sesuai apa yang dibutuhkannya dan kemampuannya melalui kondisi yang berbeda dengan pembelajaran secara konvensional di dalam kelas.

Pembelajaran geografi dengan menggunakan multimedia dapat membangun nilai-nilai karakter siswa yang berpengetahuan, cerdas dan kreatif, tanggung jawab dan arif, peduli lingkungan, sosial dan budaya, berpikir terbuka dan toleran, pro aktif perubahan, dan berkomunikasi baik. Nilai-nilai tersebut sesuai dengan perkembangan zaman dan tugas pendidikan ke depan. Email: kiiksilivester@gmail.com

 

DAFTAR RUJUKAN

Amrulloh, R. Yuliani., Isnawati. 2013. Kelayakan Teoritis Media Pembelajaran Multimedia Interaktif Materi Mutasi untuk SMA (The Feasibility Theoretical of Learning Media of Interactive Multimedia in the Topic of Mutation for Senior High School). Jurnal BioEdu (Berkala Ilmiah Pendidikan Biologi). Vol. 2 No. 2 Mei 2013. ISSN: 2302-9528. Jurusan Biologi FMIPA UNESA.

Anderson, L.W., dan Krathwohl, D. R. 2001. A Taxonomy for Learning, Teaching, and Assesing: A Revision of Bloom’s Taxonomy of Educatioanl Objectives. New York: Addison Wesley Longman, Inc.

Arifin, Zainal dan Adhi Setiyawan. 2012. Pengembangan Pembelajaran Aktif dengan ICT. Yogyakarta : PT Skripta Media Creative.

Barlow. 1985. Supervision and Teacher: A Private Coldwar. Berkeley; Mc Cutchan. N.Y.

Bruner, J. 1990. Acts of Meaning. Cambridge, MA: Harvard University Press.

Gagne, E., C. Yekovich, and F. Yekovisch. 1993. The Cognitive Psychology of School Learning. 2nded. New York: HarperCollins.

Hackbarth, S. 1996. The Educational Technology Hand-book A Comprehensive Guide Process and Products For Learning. New Jersey: Educati-onal Technology Publications

Hadjerrouit, S. 2008. Using a Learner-Centered Approach to Teach ICT in Secondary Schools: An Exploratory Study. Issues. Informing Science and Information Technology 5: 233-257.

Hamalik, O. 2008. Kurikulum dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

Hamalik, O. 2008. Metodologi Pengajaran Ilmu Pendidikan. Bandung: Penerbit Mandar Maju.

Hasruddin. 2009. Peran Multi Media dalam Pembelajaran Biologi. Jurnal Tabularasa PPS UNIMED Vol.6 No.2, Desember 2009.

Hasrul. 2010. Langkah-Langkah Pengembangan Pembelajaran Multimedia Interaktif. Jurnal MEDTEK II (2).

Heinich, R., et al. 1996. Instructional Media and Technology for Learning. New Jersey: Pretince Hall. Inc.

Ibrahim, Muslimin, dkk. 2010. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Surabaya: Unesa University Press.

Istiyanto, 2011, Pengertian dan Manfaat Multimedia Pembelajaran. Diakses di http://istiyanto.com/pengertian-dan-manfaat-multimedia-pembelajaran/ Diakses tanggal 14 April 2016.

Kalyuga, S. 2009. Schema Acquisition and Sources of Cognitive Load. Dalam JL. Plass, R. Moreno, & R. Brunken (Eds.). Cognitive Load Theory (hlm.48-64). New York: Cambridge University Press.

Majid, A. 2007. Perencanaan Pembelajaran. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Mayer, R. E. 2009. Multimedia Learning: Prinsip-Prinsip dan Aplikasi. Terjemahan Teguh Wahyu Utomo. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Mayer, RE & Moreno, R. 2010. TechniquesThat Reduce Extraneous Cognitive Load and Manage Intrinsic Cognitive Load during Multimedia Learning. Dalam JL. Plass, R. Moreno, & R. Brunken (Eds.). Cognitive Load Theory (hlm.131-149). New York: Cambridge University Press.

Merril, Paul F. et. al. 1996. Computers in Education. Boston: Allyn&Bacon

Munir. 2008. Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi. Bandung: Alfabeta.

Ngalim, M. 1992. Psikologi Pendidikan. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Ningrum, dkk. 2013. Pengembangan Multimedia Pembelajaran Geografi Berbasis Pendidikan Karakter. Jurnal Geoedukasi Volume 2 Nomor 1, Maret 2013.

Robin, Linda. 2001. Menguasai Pembuatan animasi dengan Macromedia Flash. Jakarta: Elek Media Komputindo.

Susilana, R. 2007. Sumber Belajar dalam Pendidikan dalam Ilmu dan Aplikasi Pendidikan: Bagian II Pendidikan Disiplin Ilmu.Bandung: PT IMTIMA.

Sanjaya,W. 2008. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kenana.

Shuell, T. J. 1986. Cognitive Conceptions of Learning. Review of Educational Research 56.4: 411-436.

Sudjana, N. & Ibrahim. 1989. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru.

Suyanto, M. 2005. Multimedia: untuk Meningkatkan Keunggulan Bersaing. Yogyakarta: Penerbit Andi offset.

Sweller, J. 2009. Cognitive Load Theory: Recent Theoretical Advances. Dalam JL. Plass, R. Moreno, & R. Brunken (Eds.). Cognitive Load Theory (hlm.29-47). New York: Cambridge University Press.

5 November, 2017 at 12:35 pm

Membedah Arogansi Paradoks Antara Teori dan Praktek

Membedah Arogansi Paradoks Anatara Teori dan Praktek

Oleh Fr. Yudel Fon Neno
Pendidikan SMK Katolik ST. Pius X INSANA, Kefamenanu, NTT Timor Indonesia

A. Pendahuluan
Mencari hingga menyimpulkan apa yang paling mendasar atau apa yang paling benar merupakan tujuan dasar dari setiap ilmu. Ilmu mengandaikan teori dan praktek. Teori dan praktek ibarat jiwa dan badan. Teori tanpa praktek ibarat jiwa tanpa badan. Praktek tanpa teori ibarat badan jiwa. Teori membutuhkan praktek demi nilai praktisnya. Praktek membutuhkan teori demi landasan ilmiahnya. Kurangnya sikap bijak menyikapi keduanya ini, akan menempatkan tiap orang dalam tiap bidang pada sikap arogansi yang berlebihan. Si Ilmuwan teoretis akan mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sementara si praktisi akan menyoroti si Ilmuwan hanya sebatas pada diskursus teori dan bersifat melayang-layang.
Lantas, bagaimana kita menyikapi situasi seperti ini?

B. Arogansi
Arogan berarti pertama-pertama, menonjolkan kelebihan. Kelebihan ini mengantar menuju sikap meremehkan yang lain. Sikap meremehkan ini biasanya tanpa alasan yang rational dan tertutup terhadap kemungkinan untuk dikritik.

C. Teoretis
Secara teoretis, ide adalah sumber kebenaran.

D. Praktek
Secara praktis, praktek adalah obyek utama ilmu. Ilmu mati tanpa praktek.
Dua bidang ini benar-benar paradoks.

E.Berpaling Pada Jalan Tengah
Jalan tengah adalah jalan pertimbangan. Pertimbangan adalah media untuk menghubungkan. Bukan teori atau praktek melainkan teori dan praktek.

F. Kerangka Analog
Analog berarti antara dua kata yang berbeda ada perbedaan pula dalam artinya dan ada kesamaan pula dalam artinya. Teori dan praktek itu analog. Dua kata itu berbeda, berbeda pula artinya tetapi memiliki kesamaan yakni dua-duanya sebagai kekuatan utuh untuk membedah dan menyikapi makro dan mikro kosmologi.
Dengan demikian arogansi tiap keduanya secara otomatis gugur karena karena kekuatan dalam yang terkandung dalam keduanya pada prinsipnya bersifat dialogal.

G. Keduanya Paradoks Untuk Diterima
Kedua bidang itu paradoks bukan kontradiksi. Paradoks berarti antara dua kebenaran saling dilawankan dan analogi sebagai media untuk menjembatani. Kontradiksi berarti antara dua bidang, yang satunya benar secara otomatis lainnya salah. Teori dan praktek mesti ditempatkan dalam kerangka paradoks bukan kontradiksi.

H. Penutup
Mari kita berilmu dan mari kita berpraktek. Ilmu dengan kandungan dalamnya tidak untuk menyudutkan praktek tetapi justeru memberi landasan ilmiah pada praktek. Praktek dengan kandungan dalamnya tidak untuk meremehkan teori karena praktek adalah bentuk bahasa yang hidup dan meraja dalam dunia nyata.

2 November, 2017 at 6:43 am

Penerapan kolaborasi Model Pembelajaran Peta Konsep Pada Siswa SMK Negeri 1 Slawi

Oleh : Dwi Handoko S.Si
Guru SMK Negeri 1 Slawi Kabupaten Tegal , Jateng

 

PENDAHULUAN

Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan segala informasi menjadi berlipat ganda setiap detiknya. Hal ini erat kaitannya dengant eknologi yang memberikan peluang berkembangnya sains. Berbagai macam penemuan dalam bidang teknologi banyak bermunculan selaras dengan perkembangan sains. Meningkatkan kualitas sumber daya manusia merupakan syarat mutlak yang harus dilakukan untuk menyesuaikan dengan perkembangan sains. Solusi untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah melalui pendidikan.

Penggunaan model pembelajaran yang bervariasi dirasa mampu untuk meningkatkan semangat peserta didik dalam mengikuti proses belajar mengajar, karena dengan pembelajaran secara kooperatif semaksimal mungkin partisipasi siswa dalam memperoleh pengetahuan sangat diperlukan.

Metoda pengajaran yang akan diterapkan harus memperhatikan sasaran atau subyek pelaku tindakan. Subyek penelitian ini adalah siswa SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dimana mereka termasuk dalam kategori remaja. Menurut Arikunto (2008:38) siswa pada kategori remaja cenderung bersifat mandiri, ingin segala sesuatunya serba bebas, menuntut kreativitas,  ingin dihargai sebagai anak gede yang tidak mau dikungkung tetapi ingin bebas. Oleh karena itu, metoda pembelajaran yang menjadi alternative pilihan dan dapat diterapkan pada siswa SMK adalah pembelajaran kooperatif.

Berdasarkan hasil wawancara dengan guru mata pelajaran TKJ di SMK Negeri 1 Slawi, dapat diketahui bahwa kegiatan pembelajaran mata pelajaran TKJ masih menggunakan metode ceramah & demontrasi, pembelajaran masih didominasi oleh guru dan kurang terpusat pada siswa. Siswa hanya diberi tugas dan berdiskusi pada bagian materi tertentu saja. Hal ini menyebabkan siswa kurang merespon selama kegiatan pembelajaran berlangsung karena siswa merasa bosan, jenuh,  mengantuk dan kurang dilibatkan dalam kegiatan pembelajaran. Siswa menganggap bahwa apa yang disampaikan guru sudah banyak tanpa mereka berinisiatif untuk mencoba memecahkan masalah, mereka hanya bergantung pada penyampaian materi guru yang berlanjutsampaimereka lulus. Hal ini berpengaruh pada hasil belajar siswa yang kurang optimal dalam mencapai ketuntasan belajar.

Oleh karena itu,  dengan penerapan kolaborasi model pembelajaran diharapkan siswa akan merasa lebih dihargai di dalam proses pembelajaran karena guru berusaha memberikan suatu tanggung jawab kepada masing-masing siswa atas tugas atau pertanyaan yang telahdiberikanoleh guru. Kolaborasi model pembelajaran Peta Konsep & Number Head Together merupakan suatu kegiatan berkesinambungan, setelah siswa memahami materi dengan peta konsep yang ada kemudian pengetahuan siswa akan diperkuat dengan diskusi kelompok dimana masing-masing siswa memiliki tanggung jawab menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru sebelum mereka melakukan praktikum. Kegiatan ini merupakan suatu bentuk penguatan bagi siswa dalam memahami materi pelajaran yang telah dipelajari. Dengan penerapan kolaborasi model pembelajaran siswa tidak akan pasif karena pembelajaran yang berorientasi pada siswa, guru merupakan fasilitator bagi siswa dalam proses pemahaman terhadap materi pelajaran yang akan diperoleh siswa, serta kemampuan mereka dalam melakukan praktikum.

Diharapkan dengan penerapan kolaborasi kedua model pembelajaran dapat meningkatkan hasil belajar siswa, oleh karena itu peneliti berkeinginan untuk melakukan penelitian pada proses belajar mengajar yang terjadi di SMK Negeri 1 Slawi. Penelitian ini mengambil judul “Penerapan Kolaborasi Model Pembelajaran Peta Konsep & Numbered Head Together Sebagai Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Pada Materi Merancang Web Database untuk Konten Server di SMK Negeri 1 Slawi”.

METODE

  1. Metode Pembelajaran Peta Konsep
  2. Pengertian Model Pembelajaran Teknik Peta Konsep (Mind Mapping)

Dalam proses belajar siswa mendapatkan materi berupa informasi mengenai teori, gejala, fakta maupun kejadian-kejadian. Informasi yang diperoleh akan diolah siswa. Proses pengolahan informasi melibatkan kerja sistem otak, sehingga informasi yang diproleh dan diolah akan menjadi suatu ingatan.

Berdasarkan tahapan evolusi, otak pada makhluk hidup berbai menjadi tiga bagian yaitu, batang atau otak reptilia (Primitif), sistem limbic atau otak mamalia, dan neokorteks. Masing-masing berkembang dalam waktu yang berbeda dalam sejarah evolusi makhluk hidup. Sebagian besar orang hanya menggunakan otak kirinya sebagai saran berkomunikasi dan perolehan informasi dalam bentuk verbal ataupun tertulis. Bidang pendidikan, bisnis, dan sins cenderung yang digunakan adalah otak belahan kiri. Dalam proses belajar siswa selalu dituntut untuk mempergunakan belahan otak kiri ketika menerima materi pelajaran. Materi pelajaran akan diolah dalam bentuk ingatan. Terkadang siswa tidak dapat mempertahankan ingatan tersebut dalam jangka waktu yang lama. Hal itu disebabkan karena tidak adanya keseimbangan antara kedua belahan otak yang akhirnya dapat menimbulkan terganggunya kesehatan fisik dan mental seseorang.

Untuk menyeimbangkan antara kedua belahan otak maka diperlukan adanya masukan musik dan estetika dalam proses belajar. Masukan musik dan estetika dapat memberikan umpan balik positif sehingga dapat menimbulkan emosi positif yang membuat kerja otak lebih efektif (Bobbi de Porter dan Hernacki, 1999:38).

Mencatat merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan daya ingat. Otak manusia dapat menyimpan segala sesuatu yang dilihat, didengar dan dirasakan. Tujuan pencatatan adalah membantu mengingat informasi yang tersimpan dalam memori tanpa mencatat dan mengulangi informasi, siswa hanya mampu mengingat sebagian kecil materi yang diajarkan.

Umumnya siswa membuat catatan tradisional dalam tulisan linier panjang yang mencakup seluruh isi materi pelajaran, sehingga catatan terlihat sangat monoton dan membosankan. Umumnya catatan monoton akan menghilangkan topik-topik utama yang penting dari materi pelajaran.

Otak tidak dapat langsung mengolah informasi menjadi bentuk rapi dan teratur melainkan harus mencari, memilih, memutuskan dan merangkainya dalam gambar-gambar, simbol-simbol, suara, citra, bunyi dan perasaan sehingga informasi yang keluar satu persatu dihubungkan oleh logika, diatur oleh bahasa dan menghasilkan arti yang dipahami. Teknik mencatat dapat terbagi menjadi dua bagian. Pertama catat, tulis, susun (CTS), yaitu teknik mencatat yang mampu mensinergikan kerja otak kiri dengan otak kanan, sehingga konsentrasi belajar dapat meningkat sepuluh kali lipat. CTS menghubungkan apa yang didengar menjadi poin-poin utama dan menuliskan pemikiran dan kesan dari materi pelajaran yang telah dipelajari (Bobbi de Porte dan Hernacki, 1999: 152).

  1. Model Pembelajaran Coperative Learning tipe Numbered Head Together

Metode pembelajaran model NHT adalah salah satu bagian dari metode pembelajaran struktural. Model NHT dikembangkan oleh Spencer Kagan dan teman-temannya. Meskipun memiliki banyak persamaan dengan metode lainnya, namun metode pembelajaran struktural yang menekankan pada struktur-struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Berbagai struktur tersebut dikembangkan oleh Kagan dengan maksud agar menjadi alternatif dari berbagai struktur kelas yang lebih tradisional, yang ditandai dengan pengajuan pertanyaan oleh guru kepada seluruh siswa dalam kelas dan para siswa memberikan jawaban setelah lebih dahulu mengangkat tangan dan ditunjukkan oleh guru. Struktur Kagan menghendaki agar para siswa bekerja sama saling bergantung pada kelompok-kelompok kecil secara kooperatif. Ada struktur yang memiliki tujuan umum (goal) untuk meningkatkan penguasaan isi akademik dan ada pula struktur yang tujuannya untuk mengerjakan keterampilan sosial.

Model NHT dilaksanakan dengan langkah-langkah sebagai berikut: (1) siswa dibagi dalam beberapa kelompok dan masing-masing siswa dalam setiap kelompoknya mendapatkan nomor urut, (2) guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakan permasalahan, (3) kelompok memutuskan jawaban yang dianggap paling benar dan memastikan setiap anggota kelompok mengetahui jawaban ini. (4) guru menyebutkan salah satu nomor dan siswa yang bernomor tersebut melaporkan hasil kerja kelompok, dan (5) jika memungkinkan, guru dapat mengubah komposisi kelompok sehingga siswa yang memiliki nomor sama membentuk kelompok baru.

Dalam metode NHT setiap tim, anggota terdiri dari 3-5 siswa dengan kemampuan yang bervariasi. Ada siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan rendah. Di sini ketergantungan positif juga dikembangkan, sehingga siswa yang berkemampuan rendah terbantu oleh siswa yang berkemampuan tinggi. Selain itu setiap siswa dalam kelompok diberi nomor yang berbeda-beda, misalnya jika dalam satu kelompok terdiri dari 5 siswa maka akan terdapat 5 nomor yang berbeda, sehingga dapat memudahkan guru dalam menilai tingkat kemampuaan siswa. Kemudian guru memberikan soal untuk didikusikan. Adapun tahap pelaksanaan NHT digambarkan seperti berikut:

Tahap I

 

 

 

Tahap II

 

 

 

 

Tahap III

        

 

 

 

                          

Tahap IV

 

 

 

 

 

Gambar 1 Tahapan Pelaksanaan Metode Pembelajaran NHT

Kelebihan metode struktural NHT adalah melibatkan lebih banyak siswa dalam kegiatan pembelajaran. Pada saat pertanyaan diajukan keseluruh kelas, masing-masing anggota kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk mewakili kelompok memberikan jawaban melalui pemanggilan nomor anggota secara acak. Wakil kelompok yang menjawab pertanyaan guru, tidak hanya terfokus pada siswa yang lebih mampu atau didasarkan pada kesepakatan kelompok, tetapi semua siswa mempunyai kesempatan untuk mewakili kelompok tanpa dibeda-bedakan. Selain itu kelebihannya adalah dapat mengubah struktur kelas traditional, seperti mengacungkan tangan terlebih dahulu sebelum ditunjuk guru untuk menjawab pertanyaan. Susana seperti ini dapat menimbulkan persaingan antar siswa, bahkan dapat menimbulkan kegaduhan di kelas karena para siswa saling berebut untuk mendapatkan kesempatan menjawab pertanyaan dari guru. Namun dengan menggunakan metode ini suasana kegaduhan akibat memperebutkan kesempatan menjawab pertanyaan dari guru tidak akan dijumpai karena siswa yang menjawab pertanyaan ditunjuk langsung oleh guru berdasarkan pemanggilan nomor secara acak.

Kelemahan dari metode NHT adalah membutuhkan waktu yang cukup lama bagi siswa dan guru sehingga sulit mencapai target kurikulum. Selain itu membutuhkan kemampuan khusus bagi guru dalam melakukan atau menerapkan model belajar kooperatif serta menuntut sifat tertentu dari siswa, misalnya sifat suka bekerja sama. Meskipun demikian, kelemahan tersebut dapat datasi bila guru senantiasa berusaha mempelajari dan menerapkan pembelajaran kooperatif metode NHT secara sungguh-sungguh, serta dimbangi dengan penggunaan fasilitas pembelajaran secara optimal.

HASIL DAN PEMBAHASAN

  1. Hasil Tes

Tujuan tes dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan dan ketuntasan materi merancang web database untuk konten server khusus nya kelas XII TKJ 1.

  1. Hasil Tes Pra Siklus

Setelah di lakukan tes awal pada Pra Siklus, kemampuan siswa dalam merancang web database masih rendah.

Hal ini dapat dilihat dari hasil tes awal Pra Siklus seperti terlihat pada tabel 4.1  dan gambar 4.1 di bawah ini.

Rata – Rata kelas (%) 69,03
Jumlah Siswa yang Tuntas (KKM 75) 14
Jumlah Siswa yang belum Tuntas 16
Prosentase Ketuntasan (%) 46,6
Prosentase Ketidak tuntasan (%) 53,4

Tabel 4.1 Hasil Tes Observasi Pra Siklus

Gambar 4.1 Hasil Tes Observasi Pra Siklus

Berdasarkan tabel 4.1 dan gambar 4.1 di atas diketahui bahwa dari 30 siswa di kelas XII TKJ 1 hanya 14 siswa (46,6%) yang mencapai nilai 75 ke atas (tuntas belajar sesuai dengan KKM yang telah ditetapkan). Siswa yang belum tuntas atau mendapatkan nilai di bawah 75 sebanyak 16 siswa (53,4%). Sedangkan secara klasikal belum mencapai tuntas karena hanya ada 14 siswa (46,6%) yang tuntas, padahal batas minimal tuntas belajar klasikal adalah 70 %.

  1. Hasil Tes Siklus I

Setelah di lakukan tes pada Siklus I, kemampuan siswa dalam merancang web database ada peningkatan.

Hal ini dapat dilihat dari hasil tes Siklus I seperti terlihat pada tabel 4.2  dan gambar 4.2 di bawah ini.

Rata – Rata kelas (%) 71,7
Jumlah Siswa yang Tuntas (KKM 75) 18
Jumlah Siswa yang belum Tuntas 12
Prosentase Ketuntasan (%) 60
Prosentase Ketidak tuntasan (%) 40

Tabel 4.2 Hasil Tes Observasi Siklus I

Gambar 4.2 Hasil Tes Observasi Pra Siklus dan Siklus I

Berdasarkan tabel 4.2 dan gambar 4.2 di atas diketahui bahwa dari 30 siswa di kelas XII TKJ 1 ada 18 siswa (60%) yang mencapai nilai 75 ke atas (tuntas belajar sesuai dengan KKM yang telah ditetapkan). Siswa yang belum tuntas atau mendapatkan nilai di bawah 75 sebanyak 12 siswa (40%). Sedangkan secara klasikal belum mencapai tuntas karena hanya ada 18 siswa (60%) yang tuntas, padahal batas minimal tuntas belajar klasikal adalah 70 %.

  1. Hasil Tes Siklus II

Setelah di lakukan tes pada Siklus II, kemampuan siswa dalam merancang web database ada peningkatan.

Hal ini dapat dilihat dari hasil tes Siklus II seperti terlihat pada tabel 4.3  dan gambar 4.3 di bawah ini.

Rata – Rata kelas (%) 73,60
Jumlah Siswa yang Tuntas (KKM 75) 22
Jumlah Siswa yang belum Tuntas 8
Prosentase Ketuntasan (%) 73,33
Prosentase Ketidak tuntasan (%) 26,67

Tabel 4.3 Hasil tes observasi Siklus II

 

Gambar 4.3 Hasil Tes observasi Pra Siklus, Siklus I dan Siklus II

Berdasarkan tabel 4.3 dan gambar 4.3 di atas diketahui bahwa dari 30 siswa di kelas XII TKJ 1 ada 22 siswa (73,33%) yang mencapai nilai 75 ke atas (tuntas belajar sesuai dengan KKM yang telah ditetapkan). Siswa yang belum tuntas atau mendapatkan nilai di bawah 75 sebanyak 8 siswa (26,67%). Sedangkan secara klasikal sudah mencapai tuntas karena total ada 22 siswa (73,33%) yang tuntas, batas minimal tuntas belajar klasikal adalah 70 %.

  1. Pengujian Persyaratan Analisis

Berhasil atau tidaknya penelitian ini dapat dilihat melalui analisis data baik data yang bersifat kuantitatif maupun data yang bersifat kualitatif, agar penelitian ini lebih valid, peneliti menggunakan triangulasi sumber data, yaitu data dari siswa, peneliti dan satu guru Teknik Komputer dan Jaringan.

Pedoman analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah perbandingan persentase daya serap siswa pada saat pretes pada pra siklus, post tes siklus I dan postes siklus II dan ketuntasan belajar secara klasikal untuk mengetahui kemampuan siswa merancang web database untuk konten server. Adapan pedoman analisis daya serap sebagai berikut :

Tabel 4.4 : Pedoman Analisis Daya Serap

No. Kategori Interval
1.

2.

3.

4.

Amat Baik

Baik

Cukup

Kurang

91 – 100 %

71 – 90 %

61 – 70 %

≤ 60 %

 

  1. Pengujian Hipotesis

Penelitian ini dikatakan berhasil bila daya serap siswa pada akhir siklus II dapat mencapai nilai berkisar 71 – 90 % dengan kategori baik dan ketuntasan belajar secara klasikal mencapai 70 %. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa penelitian ini pada akhir siklus II mengalami peningkatan daya serap siswa maupun ketuntasan belajar klasikal. Disamping itu juga terdapat perubahan tingkah laku yang berkaitan dengan sikap, perhatian dan minat, motivasi serta keaktifan siswa dalam mengikuti pembelajaran. Semangat dan ketertarikan siswa dalam merancang web database untuk konten server terlihat lebih besar.

 

 

  1. Pembahasan Hasil Penelitian

                 Batas tuntas belajat individual dalam pembelajaran merancang web database untuk konten server adalah 75 sesuai dengan KKM yang telah di tentukan. Sedangkan ketuntasan belajar secara klasikal tercapai bila dari 30 siswa dapat mencapai 70%.

Hasil tes awal (Pretes) pada Pra siklus menunjukan bahwa sebanyak 16 siswa (53,4%) belum tuntas belajar dan hanya 14 siswa (46,6%) yang telah dinyatakan tuntas belajar. Ternyata pemahaman siswa tentang merancang web database masih rendah. Hal ini terlihat dari hasil Pretes (tes awal) pada Pra siklus. Oleh karena itu, ketuntasan belajar secara klasikal pun belum tercapai.

Setelah guru memberikan pembelajaran merancang web database dengan menggunakan model pembelajaran peta konsep, guru membagi siswa dalam 8 kelompok urut absen sesuai dengan objek yang ditentukan. Siswa melakukan pengamatan terhadap gambar yang di berikan oleh guru kemudian masing-masing kelompok mendeskripsikan gambar tersebut. Hasil penilaian akhir siklus I diperoleh data sebanyak 12 siswa (40%) belum tuntas belajar. Data ini menunjukkan adanya peningkatan sebanyak 4 siswa (13,4%) yang tuntas belajar dibandingkan dengan penilaian pada pretes. Meskipun daya serap siswa pada akhir siklus I mengalami kenaikan sebesar 13,4% dari 46,6% menjadi 60%, ketuntasan belajar klasikal belum tercapai karena baru mencapai 60%. Dari hasil penilaian pada siklus I, peneliti berusaha untuk mencari sebab 12 siswa yang belum tuntas. Ternyata mereka mengalami kebingungann untuk memulai merancang sebuah halaman web database karena terlalu asyik mengamati obyek serta belum pernah mendapatkan gambaran yang jelas bagaimana cara merancang web database secara benar dan structural.

Penilaian akhir siklus II menggunakan kolaborasi Peta Konsep dan NHT (Numbered Head Together) menunjukan hasil bahwa dari 30 siswa hanya 8 siswa (26,67%) yang belum tuntas sehingga peningkatan sebanyak 4 siswa (13,33%) yang tuntas dibandingkan dengan siklus I.

Agar lebih jelas peningkatan kemampuan menulis deskripsi siswa dari perbandingan pretes prasiklus, postes siklus I, postes siklus II dapat dilihat pada table 4.5 berikut :

Tabel 4.5 :  Perbandingan Ketuntasan Belajar Klasikal pada Pretes Prasiklus,

Postes Siklus I, Postes Siklus II,

No Peningkatan Pra Siklus Siklus I Siklus II
1 Ketuntasan Belajar 14 siswa 18 siswa 22 siswa
2 Prosentase Ketuntasan

Belajar

46,6% 60% 73,33%

 

Berdasarkan hasil pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa  Penerapan kolaboarasi pembelajaran menggunakan Peta Konsep dan NHT dapat meningkatkan hasil belajar merancang web database untuk konten server siswa kelas XII TKJ 1 pada SMK Negeri 1 Slawi Kabupaten Tegal. Peningkatan ketuntasan belajar meningkat dari Pretes Prasiklus ke Postes Siklus I ada peningkatan 13,4% sedangkan sedangkan dari siklus I ke siklus II mengalami peningkatan sebesar 13,33%.

Dengan penerapan metode Peta Konsep dan NHT (Numbered Head Together) ternyata dapat meningkatakan hasil belajar we database untuk konten server.

 

 

SIMPULAN

Berdasarkan  hasil  penelitian,  peneliti  mengambil simpulan  bahwa  melalui  kolaborasi model pembelajaran Peta Konsep & Numbered Head Together maka hasil belajar siswa pada materi Merancang Web Database untuk Konten Server dapat meningkatkan hasil belajar  siswa di kelas XII TKJ SMK N 1 Slawi. Dapat dilihat  dari  hasil  observasi    Hasil  belajar  siswa meningkat  dari  46,6%  pada  pra  siklus  menjadi  60% pada siklus  I  dan  meningkat  lagi  menjadi  73,33%  pada siklus  II.  atau dapat dikatakan  bahwa  peningkatan  Hasil  belajar  siswa minimal  menjadi  70%  telah  tercapai,  dan  secara  umum peningkatan Hasil  belajar  siswa  naik menjadi  26,73%  dari kondisi awal.

 

DAFTAR PUSTAKA

 

Arikuntro, Suharsini, Donald Ary, danAriefFurchan, PengantarPenelitianDalamPendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 1982

Nana Sudjana. (2005) Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Rosda Karya.

Suharsimi Arikunto dkk (2007) Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: Bumi Aksara.

Bambang Dharmaputra, “Penyusunan Silabus dalam KTSP SMK,” Jurnal 8

Pendidikan, vol.3, No.4, 1-10 (Jakarta, April 2008).

Abdurrahman dan Bintoro (dalam Nurhadi 2004:61)

(Moleong, 2066:9)

Arikunto, S. 2001. Dasar-dasar evaluasi pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

Arikunto, Suharsimi. 2009. PenelitianTindakanKelas. Jakarta :BumiAksara.

 

(Kontak person: 083839343699. Email: dwi.koko212@gmail.com)

7 Oktober, 2017 at 7:18 am

Pameran Buku, Arsip dan Jambore Perpustakaan

 

RosmilarsihOleh Roosmilarsih SIPust
Pengelola Perpustakaan SD Negeri 01 Wringin Agung, Kecamatan Doro, Kabupaten Pekalongan, Jateng.

 

Pameran menjadi sebuah kegiatan yang tepat dan yang sangat berkaitan erat untuk dunia promosi buku dan pengelola buku dimana banyak interaksi yang terjadi antara pengunjung dengan buku yang dipamerkan. Melalui pameran diharapkan dapat meningkatkan minat baca dan minat beli, dalam makna yang lebih luas dapat meningkatkan pengetahuan masyarakat dan selanjutnya dapat merubah pola hidup ke arah yang lebih baik. Jambore  dilaksanakan dengan banyak sekali kegiatan yang langsung berhubungan dengan kerja dan kesibukan para penggiat buku. Bagi seorang penggiat buku takan berarti apa-apa tanpa adanya sebuah objek berupa buku, arsip atau objek lainnya seperti berbagai benda yang mempunyai nilai seni, budaya, sejarah, dan nilai-nilai lainnya sesuai dengan keperluan dan waktu dari keperluan dan peradapan manusia pada masanya.

Pengelola perpustakaan, taman baca, rumah baca, tidak banyak memiliki kegiatan, terutama untuk para tenaga perpustakaan yang ada di sekolah dasar. Tidak seperti agenda para guru yang memiliki berbagai kegiatan seperti KKG, dharma wanita, dan berbagai kegiatan lainnya. Oleh karena itu Jambore Perpustakaan menjadi sebuah ajang bertemu, bertukar pengalaman, berbagi ilmu dan bersama-sama mencari solusi dari berbagai persoalan yang dialami oleh penggiat buku dan dunianya yang sangat membutuhkan perhatian khusus karena banyak persoalan seperti banyaknya tugas yang harus diemban oleh seorang tenaga perpustakaan dari pengadaan, pengolahan dan pelayanan yang sangat tidak mungkin di lakukan oleh satu orang, sedangkan tenaga perpustakaan khususnya di sekolah dasar cuma satu-satunya dan itu masih berstatus honorer.

Masalah besar lainnya yang harus diterima adalah belum adanya anggaran secara khusus untuk perpustakaan meskipun sudah memiliki gedungnya, anggaran pemerintah sebesar 5% biasanya digunakan untuk membeli koleksi mengingat koleksi menjadi faktor utama dari sebuah kegiatan pustaka. Seorang honorer sebagai pegawai yang belum memiliki kekuatan untuk menghindari berbagai tugas yang seharusnya diemban oleh guru khusus atau bukan guru kelas menyebabkan tugas kepustakawanan terbengkalai karena sering ditinggal sehingga tak jar ang buku-buku hanya bertumpuk. Misalnya dalam suatu persiapan lomba pesta siaga dengan berbagai materi yang beragam, sangat tidak mungkin jika seluruhnya persiapan dan latihan dilakukan oleh guru-guru saja, maka pengelola perpustakaan dianggap harus turut serta dalam persiapan tersebut dan sudah pasti tugas kepustakawanan harus ditinggalkan, demikian pula untuk berbagai persiapan jambore penggalang, lomba kreatifitas, lomba karakter, lomba MAPSI dan berbagai kegiatan lainnya maka sekali lagi tugas kepustakawanan ditinggalkan.

Kembali ke ajang jambore perpustakaan ke 3 Kabupaten Pekalongan yang diikuti oleh pengelola perputakaan, taman baca, rumah baca masyarakat, se Kabupaten Pekalongan dengan agenda kegiatan yang sangat padat diharapakan dapat memberi semangat baru bagi para penggiat buku. Pakar kepustakawanan yang pada tahun 2017 meraih juara harapan 1 untuk tngkat nasional,  dihadirkan sebagai nara sumber dengan materi “strategi pengembangan perpustakaan”, mengupas tuntas bagaimana cara mengembangkan perpustakaan agar dapat meningkatkan minat baca. Melalui berbagai pendekatan baik kepada siswa-siswi sebagai pemustaka maupun kepada guru, karyawan, kepala sekolah sebagai pihak penyelenggara seluruh kegiatan yang ada di sekolah. Pendekatan kepada siswa dilakukan dengan menyediakan sarana yang menarik, mempromosikan jika ada koleksi yang baru, menyelenggarakan kegiatan membaca, merangkum, lomba dan berbagai kegiatan lainnya agar sesering mungkin siswa-siswa berada di lokasi perpustakaan serta menggunakan koleksi untuk kepentingan kegiatan tersebut.

Pendekatan kepada pihak penyelenggara dimaksudkan untuk memberi kesempatan seluas-luasnya kepada pengelola perpustakaan untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang menunjang pembelajaran dengan memanfaatkan perpustakaan dengan segenap koleksinya dan dengan kegiatan yang sedekat mungkin dengan siswa. Penyelenggara sekolah harus juga memberi dukungan setiap langkah yang ditempuh oleh pustakawan dengan tujuan memajukan pendidikan yang sesuai dengan visi dan misi sekolah. Mendukung secara moril dengan turut menanamkan pentingnya membaca secara terus menerus kepada siswa di kelas, serta memberi dukungan sarana yang diperlukan melalui anggaran yang ada.

Perkembangan dunia pendidikan harus seiring dengan cepatnya informasi pendidikan yang harus diterima oleh dunia pendidikan. Hal ini ditunjang oleh pesatnya teknologi yang terus berkembang yang dapat dengan cepat dan tepat menyampaikan informasi yang dibutuhkan. Tetapi teknologi mempunyai kekurangan dimana informasi yang diterima terkadang harus melalui peralatan yang mahal. Di dunia internet informasi dapat diakses kapanpun dan dimanapun tetapi seringkali kita harus berbenturan dengan berbagai informasi yang berpotensi negatif dan sangat berbahatya jika terakses oleh anak-anak di bawah umur, dan itu tidak dapat kita hindari karena tanpa kita menuju ke alamat situs yang dimaksud, gambar-gambar tak pantas sering muncul dengan sendirinya.

Sementara buku yang sudah menjadi penunjang KBM, koleksi perpustakaan sudah melalui sensor dari lembaga yang berwenang sehingga keberadaannya tidak perlu dikwatirkan terhadap perkembangan anak-anak kita karena sudah pasti bebas dari pengaruh negatif baik dari segi isi materi, gambar maupun tampilannya. Tidak hanya demikian, buku sebagai sumber informasi utama sangat ramah dan aman terhadap lingkungan. Buku yang sudah berusia puluhan tahun jika sudah waktunya disiangi atau dimusnahkan tidak membutuhkan peralatan, tempat, maupun cara yang sulit,bahkan setelah dimusnahkan dalam waktu sekejab bisa menyatu dengan tanah atau di tinggali manusia. Bisa kita bayangkan dengan sumber informasi lain yang mungkin mengandung bahan berbahaya bagi manusia bahkan hanya dapat hancur setekah ratusan tahun.

Oleh karena itu sangat penting, tepat dan harus berkelanjutan diadakannya pameran buku, arsip dan jambore perpustakaan karena ketiganya saling berkaitan untuk meningkatkan perkembangan bangsa indonesia dalam dunia pendidikan nasional. Pada kesempatan tersebut hadir pula motivator pendidikan nasional Bapak Walyono, dengan mengusung materi “Sang Penggerak”, dimana seorang pengelola perpustakaan khususnya, dan setiap orang harus mampu menjadi penggerak bagi diri, keluarga, dan lingkungan dimana ia berada. Seorang penggerak akan menjadi orang-orang penting karena jasanya, bukan menjadi orang yang biasa-biasa saja bahkan kadang diangggap tidak ada, tentu kita semua tidak ingin menjadi orang yang tidak diinginkan kehadirannya karena menurut masyarakat luas kita termasuk orang-orang yang bermasalah, karena tidak menjadi penggerak, tidak mau digerakan dan menganggap semua gerakan positif tidak perlu. Demikian disampaikan oleh sang motivator pendidikan nasional tersebut.

7 Oktober, 2017 at 6:54 am

Older Posts


ISSN 2085-059X

Klik tertinggi

  • Tidak ada

  • 1.230.650

Komentar Terbaru

Roos Asih pada Surat Pembaca
rumanti pada Surat Pembaca
ira pada Surat Pembaca
Alfian HSB pada Surat Pembaca
Tamtomo Utamapati pada Surat Pembaca
Ida pada Surat Pembaca
Waluyo pada Surat Pembaca