Raperda UMG dan Kesiapan Swasta

20 Februari, 2010 at 12:00 am

Oleh Biyanto
Dosen IAIN Sunan Ampel dan sekretaris Majelis Dikdasmen PWM Jatim

Melalui forum Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS), para penyelenggara pendidikan swasta menyatakan berkeberatan atas Rancangan Peraturan Daerah tentang Upah Minimum Guru (Raperda UMG). Draf Perda UMG itu diajukan Dinas Pendidikan (Dispendik) Kota Surabaya.

Salah satu poin penting yang diperdebatkan dalam draf Perda UMG adalah gaji minimal guru yang mencapai Rp 1,1 juta per bulan. Selain itu, ada kewajiban penyelenggara pendidikan swasta membayar kelebihan jam mengajar guru jika melebihi 24 jam. Semangat yang diusung Raperda UMG adalah mengatur sistem penggajian guru. Bagi Dispendik, peraturan itu perlu dibuat dengan harapan ada kesepakatan para penyelenggara pendidikan untuk menentukan gaji minimal guru.

Raperda UMG tersebut jelas menjadi angin segar bagi guru, terutama mereka yang mengajar di pendidikan swasta berkategori menengah ke bawah. Sebab, harus diakui, salah satu problem yang dihadapi guru sehingga belum mampu bekerja maksimal adalah berkaitan dengan rendahnya kesejahteraan. Jika ditelisik lebih jauh, rasanya masih banyak guru, terutama guru tetap yayasan, yang menerima penghasilan di bawah upah minimum regional kota dan provinsi yang diberlakukan untuk buruh pabrik.

Pertanyaan yang layak diajukan, bagaimana mau berbicara mutu pendidikan jika problem yang berkaitan dengan kebutuhan minimal guru belum terpenuhi? Berbeda dari guru, Raperda UMG jelas menjadi persoalan bagi penyelenggara pendidikan swasta. Tentu bukan hanya persoalan istilah ”upah minimal guru” yang patut diperdebatkan (Metropolis JP, 16/2/2010). Ada problem yang lebih besar, yaitu kewajiban penyelenggara pendidikan memenuhi standar minimal gaji guru. Itu baru pengeluaran rutin di luar operasional pendidikan. Padahal, penyelenggara juga wajib mengembangkan lembaga pendidikan agar bisa bertahan dan berkompetisi dengan lembaga lain.

Karena itu, bisa dibayangkan betapa pusing kepala para penyelenggara pendidikan jika Raperda UMG tersebut benar-benar diundangkan. Sejujurnya, penyelenggara pendidikan bukan tidak mau meningkatkan kesejahteraan guru. Mereka sangat menyadari kecilnya pendapatan yang diterima guru.

Problemnya, kebanyakan sekolah swasta mengandalkan donasi pendidikan dari orang tua siswa. Untuk sekolah swasta berkategori besar, memang itu tidak masalah. Tapi, untuk sekolah berkategori kecil dengan jumlah siswa sedikit, tentu itu akan menjadi masalah besar.

Di luar problem yang dihadapi sekolah swasta, tampaknya, Raperda UMG juga perlu disinkronkan dengan peraturan lain yang mengatur donasi pendidikan. Sebab, Dispendik Surabaya pernah melarang sekolah menarik donasi dari wali murid. Bagi sekolah negeri, persoalan donasi pendidikan memang bisa menjadi isu sensitif.

Sebab, sebagai sekolah negara, berarti segala pembiayaan yang dikeluarkan sudah dipenuhi pemerintah. Masyarakat akan menyatakan tidak lazim jika ada sekolah negeri yang membebankan biaya operasional pendidikan kepada orang tua. Padahal, dalam beberapa kasus, donasi pendidikan yang melibatkan sekolah negeri selalu dikatakan bahwa alokasi dana dari pemerintah belum memenuhi semua anggaran yang dibutuhkan. Akibatnya, sekolah negeri pun harus mencari dana tambahan dengan cara menarik donasi dari wali murid. Logikanya, jika sekolah negeri saja begitu, bagaimana dengan pendidikan swasta?

Dispendik Surabaya beralasan, secara logika, penyelenggara pendidikan swasta pasti mampu memenuhi UMG. Sebab, pemerintah telah banyak meluncurkan program bantuan pendidikan. Misalnya, bantuan operasional sekolah (BOS) dan bantuan operasional pendidikan daerah (bopda). Tapi, karena besaran dana bantuan yang diberikan pemerintah sangat bergantung jumlah siswa, penerimaan BOS dan bopda pun berbeda untuk setiap sekolah. Tampaknya, itulah problem yang dihadapi penyelenggara pendidikan swasta. Bagi mereka, tidak mungkin pembiayaan UMG dan kebutuhan operasional lain hanya mengandalkan BOS dan bopda.

Mobilisasi Stakeholder

Sebenarnya, masih ada jalan keluar bagi penyelenggara pendidikan swasta agar dapat memenuhi UMG. Yakni, memanfaatkan sumber daya stakeholder sekolah. Fungsi mobilisasi sumber daya stakeholder itu bisa dijalankan komite sekolah. Hanya, sejauh ini sekolah sangat jarang memanfaatkan komite. Komite baru difungsikan jika ada program mencairkan dana bantuan seperti BOS, bopda, block grant, serta hibah pemerintah.

Sebenarnya, dalam era pendidikan yang semakin kompetitif, banyak orang tua di perkotaan yang tidak lagi peduli pada persoalan biaya, asalkan anaknya mendapatkan layanan terbaik. Hal itu bisa dibuktikan dengan eksistensi sekolah-sekolah swasta berkategori unggulan yang tidak pernah sepi peminat, meski biaya pendidikan dipatok sangat tinggi. Bagi orang tua yang high class, sekolah yang menetapkan biaya murah dianggap tidak berkualitas karena pasti tidak diurus dengan serius. Sebaliknya, sekolah yang mahal diidentikan dengan pendidikan berkualitas.

Karena itu, dalam konteks inilah penyelenggara pendidikan swasta dapat memainkan peran melalui komite agar stakeholder mau memberikan donasi guna membantu sekolah. Jika hal tersebut bisa terealisasi, siswa miskin pun akan merasakan subsidi, sehingga biaya pendidikan dapat ditekan. Memang tidak mudah memobilisasi sumber daya stakeholder. Diperlukan perjuangan dan bukti empiris berupa penyelenggaraan dan pengelolaan sekolah secara profesional. Jika penyelenggara pendidikan swasta mampu membuktikan hal itu, donasi pendidikan dari stakeholder pasti keluar.

Satu hal yang juga penting dimintakan komitmen dari pemerintah, terutama Dispendik, adalah diperbolehkannya sekolah menarik donasi pendidikan. Komitmen itu penting karena pemerintah dengan kampanye pendidikan gratis sering menegur sekolah-sekolah yang menarik sumbangan dari stakeholder. Padahal, kenyataannya, kampanye pendidikan gratis itu cenderung menyesatkan. Faktanya, tidak pernah ada pendidikan yang betul-betul gratis. Harus disadari, pendidikan gratis itu memang hanya menjadi bahan kampanye calon anggota legislatif dan kepala daerah yang hendak maju dalam pemilihan umum.

Jika pemerintah memberi kelonggaran kepada penyelenggara pendidikan swasta untuk menghimpun dana dari stakeholder, tidak ada yang perlu dikhawatirkan atas rencana Dispendik membuat Perda UMG. Perda itu justru bisa menjadi tantangan untuk mengelola pendidikan secara profesional. Untuk tujuan mulia itu, penyelenggara pendidikan harus lebih dulu menertibkan peraturan kepegawaian dan penggajian untuk pimpinan sekolah, guru, serta karyawan.

Tampaknya, saat ini pengelolaan pendidikan tidak cukup hanya mengandalkan modal pengabdian dan keikhlasan. Lebih dari itu, para pengelola pendidikan juga harus menghargai pekerjaan guru secara layak dan profesional. Hanya dengan cara itulah pengelola pendidikan bisa menuntut komitmen guru untuk menunaikan tugas lebih baik. (Sumber: Jawa Pos, 20 Februari 2010)

Entry filed under: Artikel Pengamat Pendidikan. Tags: , , , .

Plagiat dan Kegersangan Antara Profesionalitas dan Kesejahteraan


ISSN 2085-059X

Klik tertinggi

  • Tidak ada

  • 1.230.700

Komentar Terbaru

Roos Asih pada Surat Pembaca
rumanti pada Surat Pembaca
ira pada Surat Pembaca
Alfian HSB pada Surat Pembaca
Tamtomo Utamapati pada Surat Pembaca
Ida pada Surat Pembaca
Waluyo pada Surat Pembaca