Saatnya Ujian Nasional Dievaluasi

23 Oktober, 2009 at 12:49 am

Oleh Akh Muzakki
Dosen Pascasarjana IAIN Sunan Ampel, Surabaya, alumnus The University of Queensland, Australia

 

 

Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II telah dibentuk dan diumumkan secara resmi pada 21 Oktober 2009 malam. Bagi kaum guru yang disebut-sebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, pos paling menarik untuk dicermati adalah Kementerian Pendidikan Nasional.

Terpilihnya Muhammad Nuh, mantan rektor ITS Surabaya, sebagai menteri pendidikan nasional memberikan harapan baru. Personalitas dan integritasnya mengundang ketertarikan banyak pihak, tidak terbatas guru, untuk mencurahkan harapan tersebut.

Salah seorangnya Dahlan Iskan, bos Jawa Pos Group. Dalam sebuah kolom, dia menuliskan pandangannya: “Yang menarik (dari Muhamamd Nuh), bagaimana orang yang punya integritas dan sangat jujur itu sekarang harus mengelola anggaran Rp 250 triliun. Orang pasti ingin tahu bagaimana menteri yang rumahnya berada di sebuah perkampungan di Surabaya tersebut harus mengatur dana terbesar APBN Indonesia (Jawa Pos, 22/10/2009).”

Bagi guru, pengelolaan anggaran diknas yang besar itu memang penting. Tapi, hal paling utama yang kini meresahkan mereka berkaitan dengan ujian nasional. Pasalnya, hasil ujian nasional itulah yang menjadi penentu lulus tidaknya seorang siswa dan guru berada dalam posisi yang serbasalah, tertekan serta akhirnya bertindak curang.

Tengoklah curhat sejumlah guru yang menjadi “korban” ujian nasional. Curhat itu dikirimkan kepada saya lewat e-mail. Tampak mereka sudah tidak tahan berada dalam tekanan ujian nasional. Bagi mereka, ujian nasional telah berubah wajah menjadi rezim penumpul nurani dan moral kemanusiaan.

Dalam curhatnya, salah seorang guru mengeluhkan banyaknya nilai siswa yang didongkrak. Bahkan, dia dipermalukan salah seorang siswanya yang tergolong tidak pintar dan suka membolos, tapi ternyata nilai yang diperolehnya di ujian nasional kebanyakan 10. Jadilah dia dicibir oleh muridnya sendiri. Saat mengadu ke kepala sekolah, dia malah dibilang, “Makanya, jadi guru jangan terlalu idealis, bantu dong muridnya.” Kata “bantu” menunjuk kepada praktik perjokian semu.

Seorang guru lain malah berpendapat dalam curhatnya bahwa ujian nasional sudah dikendalikan oleh semacam mafia. Nilai bisa disetel oleh sebuah “jaringan kotor” di internal penyelenggara pendidikan. Dia lalu berniat mengundurkan diri dari PNS. Alasannya, mengundurkan diri lebih baik daripada kerja, tapi selalu bertarung dengan hati nurani.

Problem Universal
Pak Muhammad Nuh, yakinlah curhat tersebut bukan hanya milik segelintir guru, melainkan menjadi problem universal para guru di Indonesia. Saat ujian nasional menjadi rezim, guru menjadi korban. Bukan hanya korban dari kuasa kepala sekolah yang tak ingin “ditegur” kepala dinas pendidikan karena ada siswa yang tak lulus, tetapi juga korban tuntutan orang tua agar siswa bisa lulus.

Menurut hemat saya, kebijakan dan praktik pendidikan dengan menjadikan ujian nasional sebagai penentu tunggal kesuksesan siswa seperti itu telah melupakan esensi persoalan yang dihadapi pendidikan nasional kita.

Memang benar, kita harus bergerak menuju bangsa yang lulus dan berkualitas. Cara pengukuran lewat mekanisme ujian juga sesuatu yang lazim. Secara prinsip, saya juga sangat setuju dengan gagasan pentingnya penguatan mekanisme pengujian kecakapan siswa melalui ujian nasional.

Namun, bagi saya, persoalannya bukan hanya itu. Ada masalah mendasar yang menyelimuti mekanisme pengujian tersebut, yakni terkait dengan pemberlakuan kurikulum di pendidikan nasional kita. Sudah semestinya kita meletakkan persoalan yang seharusnya pada sistem pengenaan kurikulum yang dikembangkan di pendidikan tanah air.

Pendidikan Indonesia dikembangkan dengan kurikulum berbasis kompetensi (KBK), yang kini lebih disempurnakan melalui desain dan bangunan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP). Inti desain dan bangunan kurikulum seperti itu adalah upaya untuk mengapresiasi kompetensi setiap siswa sesuai dengan keragaman individual (individual differences) yang dimiliki.

Karena itu, dengan menjunjung tinggi prinsip kompetensi tersebut, bangunan dasar kebijakan ujian nasional sungguh menyisakan persoalan. Muatan kompetensi yang dikembangkan oleh kurikulum yang diberlakukan tak tecermin dalam ujian nasional. Bagaimana bisa seorang siswa yang prestasi akademiknya secara umum sangat bagus akhirnya dinyatakan tidak lulus karena nilainya pada salah satu bidang studi yang diujikan lebih rendah daripada standar minimal yang diberlakukan secara nasional?

Sertakan Guru
Pasal 35 UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang mensyaratkan kompetensi kelulusan yang ditetapkan secara nasional mestinya tidak dimaknai dalam bentuk menjadikan ujian nasional sebagai satu-satunya faktor kelulusan. Harus ada mekanisme yang menyertakan peran sekolah dan guru dalam menentukan kelulusan siswa didik.

Kalau tidak, pemerintah berarti ikut memperpuruk kondisi sosial pendidikan nasional. Bentuknya, menjadikan kemampuan kognitif sebagai satu-satunya tolok ukur kelulusan tanpa pertimbangan dan penilaian yang sama terhadap aspek afektif dan psikomotorik, yang catatan persisnya hanya diketahui sekolah dan guru. Padahal, dua aspek terakhir memiliki peran yang sama dengan aspek kognitif dalam menciptakan generasi bangsa yang berkualitas.

Posisi guru di tengah tanggung jawab untuk menciptakan generasi bangsa yang berkualitas rawan terimpit rezim ujian nasional sebagai penentu kelulusan satu-satunya. Guru sadar bahwa generasi yang berkualitas menuntut terinternalisasikannya nilai moral.

Namun, kesadaran itu akhirnya harus terenggut oleh kepentingan berangkai untuk membuat seluruh siswa lulus melalui ujian nasional. Alih-alih nilai moral kejujuran yang dipertahankan, pragmatisme yang berujung pada praktik culas melalui perjokian semu menjadi gambar besar. (Sumber: Jawa Pos, 23 Oktober 2009).

Entry filed under: Artikel Pengamat Pendidikan. Tags: , , .

Menyelenggarakan Sekolah Manusia Mutu Pendidik yang Mengecewakan


ISSN 2085-059X

  • 1.230.794

Komentar Terbaru

Roos Asih pada Surat Pembaca
rumanti pada Surat Pembaca
ira pada Surat Pembaca
Alfian HSB pada Surat Pembaca
Tamtomo Utamapati pada Surat Pembaca
Ida pada Surat Pembaca
Waluyo pada Surat Pembaca