UN dan Dekadensi Moral

15 April, 2011 at 12:00 am

Oleh Muslim Basyar
Dosen Universitas Muhammadiyah Lampung, mahasiswa Pascasarjana IAIN Raden Intan Lampung

Upaya membangun karakter bangsa dan kehidupan yang demokratis di negeri ini mestilah dimulai dengan memperbincangkan dunia pendidikan. Sebab, dalam konsep negara demokrasi, pendidikan menjadi tolak ukur untuk melihat apakah rakyat benar-benar sejahtera dalam pemikiran.

Mengubah cara berpikir manusia menjadi lebih positif dan ideal, merupakan dasar gerakan dalam dunia pendidikan. Karena nalar berpikir akan mengarahkan seseorang untuk bertindak. Jika sistem berpikir tidak baik, meski seseorang berpendidikan tinggi, tetap berpeluang melakukan tindak kejahatan yang terstruktur. Buktinya, kebejatan moral yang dilakukan pejabat publik kita dalam wujud korupsi, penjarahan hutan, dan menggusur rumah rakyat miskin masih tetap saja berlangsung. Ini menunjukkan bahwa ada yang salah dalam sistem berpikir mereka.

Begitu juga dalam proses pendidikan. Peserta didik kita ternyata belum mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Beragam perilaku menyimpang, seperti pemakaian narkoba, seks bebas, dan tawuran antarpelajar telah menjadi identitas yang melekat kuat pada siswa di sekolah.

Sudah sekian lama dunia pendidikan kita menghadapi dilema besar dalam menanamkan nilai-nilai luhur kepada setiap individu yang ada di dalamnya. Di satu sisi, sebagian besar guru terus menuntut para siswa untuk hidup baik, jujur, bertanggung jawab, dan saling menghargai antarsesama. Namun, di sisi lain, cukup banyak pula dari guru kita yang mengajarkan tidak baik: membiarkan siswa mengembangkan keahlian mencontek dan memelihara budaya kekerasan dalam proses pembelajaran.

Kondisi ini kemudian diperparah lagi dengan tetap diberlakukannya ujian nasional (UN). Sebab, dengan adanya UN, bacaan wajib yang mesti dikonsumsi peserta didik menjadi seragam. Akhirnya, ruang-ruang kritis dalam dunia pendidikan menjadi tertutup rapat. Karena ilmu yang diajarkan telah diasumsikan mencapai titik klimaks. Padahal, proses pencarian ilmu pengetahuan tiap saat bisa berubah sesuai dengan dinamika zaman.

Kemudian, realitas yang kini mengemuka: ketika sudah mendekati pelaksaan UN, sekolah-sekolah yang ada acap memadatkan proses pembelajarannya (baca: menambah jam pelajaran) hingga sore hari. Ujung-ujungnya, siswa menjadi kelelahan hingga menganggap UN sebagai momok yang sangat menakutkan.

Namun anehnya, dari pengalaman yang ada, kecurangan dalam pelaksanaan UN masih saja terjadi, baik guru yang memberikan “bocoran” atau memanipulasi data maupun siswa yang tak jujur dalam mengisi soal ujian. Jadi, pemadatan jam pelajaran itu sebenarnya tidak menuai sesuatu yang berarti, selain hanya kelelahan dan kegelisahan dalam menghadapi UN.

Jika diteliti lebih dalam, sebenarnya kegagalan (untuk tidak mengatakan kebobrokan!) dalam pelaksanaan UN, salah satunya bermuara pada tidak kompetennya guru. Sebab, jika guru tidak memiliki kompetensi yang mapan, materi pelajaran yang disampaikan kepada siswa menjadi tidak sempurna hingga harus menambah waktu dalam belajar. Padahal, pemadatan materi itu pada hakikatnya telah merenggut hak privasi siswa untuk melepas lelah dan menenangkan diri.

Wajar saja jika banyak kalangan berpandangan bahwa pelbagai macam proses yang ada dalam dunia pendidikan kita saat ini, khususnya UN, masih mengarah pada hasil apa yang akan dicapai; bukan berfokus pada proses apa yang akan dilakukan. Efeknya, ruang-ruang untuk berdialektika menjadi mampat. Jika siswa bertanya, mendedah sebuah teori, atau memiliki kerangka berpikir lain, akan dianggap salah.

Terlebih lagi, model yang dipakai juga hanya menguji kemampuan menghafal fakta dan kemampuan berpikir tanpa analisis yang kritis. Sementara berbagai persoalan dalam kehidupan membutuhkan kemampuan berpikir dengan daya analisis tinggi, keterampilan memecahkan masalah, dan kemampuan mendesain.

Mereka tidak dididik menjadi intelektual atau konseptor yang kreatif dan terampil untuk setiap saat melakukan telaah akan beragam masalah yang tengah mengimpit masyarakat bawah. Melainkan diukir menjadi robot yang patuh terhadap pelbagai keputusan yang datang dari penguasa.

Bersandar pada diskursus cukup panjang di atas, maka sistem pendidikan kita mesti segera dibenahi. Menurut penulis, sudah saatnya guru-guru di sekolah memosisikan diri mereka tidak hanya sebagai pendidikan dan pengajar, tapi juga sebagai teman yang bisa diajak bergaul dan berdiskusi dengan terbuka. Dengan pola ini, guru bisa menyelipkan nilai-nilai moralitas kepada siswa dalam setiap mata pelajaran, bahkan setiap saat.

Alhasil, dalam proses pembelajaran, sekolah pun mestinya tidak lagi mengistimewakan siswa berprestasi atau yang memiliki jenis inteligensia tertentu. Sebab, hal ini bisa menyebabkan siswa yang memiliki inteligensi lain menganggap bahwa mereka tidak diperhatikan, atau bahkan dianggap tidak “berguna”. Seharusnya, semua siswa diperlakukan sama dengan cara melakukan pembauran antara yang dianggap cerdas dan yang tidak. Karena setiap siswa, sesungguhnya memiliki kecerdasan yang berbeda. (Sumber: Lampung Post, 15 April 2011)

Entry filed under: Artikel Pengamat Pendidikan. Tags: , .

Mengapa Mengajarkan Toleransi? Istigasah Menjelang UN


ISSN 2085-059X

Klik tertinggi

  • Tidak ada

  • 1.230.972

Komentar Terbaru

Roos Asih pada Surat Pembaca
rumanti pada Surat Pembaca
ira pada Surat Pembaca
Alfian HSB pada Surat Pembaca
Tamtomo Utamapati pada Surat Pembaca
Ida pada Surat Pembaca
Waluyo pada Surat Pembaca