Menimbang Profesionalisme Guru

2 Maret, 2010 at 12:00 am

Oleh Anjrah Lelono Broto SPd
Litbang LBTI (Lembaga Baca Tulis Indonesia) dan Pemerhati Pendidikan

Tercatat, Indonesia memiliki aset guru yang telah terdaftar sebagai sebagai pegawai negeri sipil (PNS) sebanyak 2,6 juta orang. Dapat kita bayangkan, betapa jumlahnya sangat tidak sebanding dengan jumlah penduduk dan anak didik yang terdaftar di lembaga pendidikan formal

maupun yang tidak bersekolah sehingga terserap dalam lembaga-lembagapendidikan non-formal. Pemerintah dan masyarakat Indonesia patut bersyukur, kekurangan yang ada tersebut ditambal dengan peran aktif guru-guru swasta (Non-PNS), yang mayoritas juga berkiprah dilembaga-lembaga pendidikan swasta.

Menurut Fasli Jalal, Direktur Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan, 54% guru di Indonesia tidak memiliki kelayakan untuk mengajar. Fasli Jalal menambahkan bahwa kualifikasi pendidikan dan kompetensi mayoritas guru di Indonesia, tidak memenuhi standar

kelayakan mengajar di lembaga pendidikan formal. Lebih terperinci, saat ini guru yang tidak layak mengajar sekitar 912.505. Terdiri atas 605.217 guru SD, 167.643 guru SMP, 75.684 guru SMA, dan 63.961 guru SMK. Pernyataan ironis Fasli Jalal ini disampaikan terkait denganwacana guru profesional dan standar berkompeten guru sebagai bagian Program Tunjangan Profesi Guru.

Guru identik dengan idiomatika ‘pahlawan tanpa tanda jasa’. Sebagai pahlawan, guru dengan tulus ikhlas senantiasa mengorbankan tenaga dan pikirannya demi memajukan pendidikan. Dalam konteks pembangunan sebuah bangsa, pendidikan menempati posisi yang sangat vital. Semua elemen dalam pendidikan, terutama guru, memiliki posisi dominan dalam konstruksi pola pikir sebuah bangsa dari generasi ke generasi (Sinaga,1987). Peran guru tidak lagi hanya sebagai pengabdi pendidikan dengan pola kinerja yang terjebak dalam rutinitas tatap muka, rencana

pembelajaran (RP), evaluasi, maupun Ujian Nasional (UN), melainkan harus diposisikan kembali menjadi pendidik sejati. Guru seyogyanya memiliki motivasi besar untuk mengembangkan pola pembelajaran dan meningkatkan kualitas dirinya secara profesional sehingga bisa membidani kelahiran siswa-siswa yang cerdas, berkemampuan, dan bermoral.

Rendahnya Kualitas

Bahrul Hayat dalam Adiningsih (2002) menyebutkan bahwa kualitas guru Indonesia memberikan pemandangan yang sangat memprihatinkan. Peneliti pendidikan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ini memperlihatkan nilai rata-rata nasional tes calon guru PNS di SD,

SLTP, SLTA, dan SMK tahun 1998/1999 untuk bidang studi matematika hanya 27,67 dari interval 0-100, artinya hanya menguasai 27,67% dari materi yang seharusnya. Hal serupa juga terjadi pada bidang studi yang lain, seperti fisika (27,35), biologi (44,96), kimia (43,55), dan bahasa Inggris (37,57). Nilai-nilai di atas tentu jauh dari batas ideal, yaitu minimum 75% sehingga seorang guru bisa mengajar dengan baik. Sedangkan, Konsorsium Ilmu Pendidikan (2000) memperlihatkan bahwa 40% guru SMP dan 33% guru SMA mengajar bidang studi di luar bidang keahliannya.

Inilah cerminan kualitas guru di Indonesia, adalah sebuah impian jika pendidikan di Indonesia bisa menunjukkan kemajuan karena guru pengajarnya sendiri kualitasnya masih jauh dari idealitas seorang pendidik. Dimana letak profesionalitasnya apabila penguasaan materi bidang studi yang diajarnya saja masih di bawah 50%? Dimana letak

profesionalitasnya bila masih ada 33% guru yang mengajar di luar bidang keahlianya. Geist (2002) mengatakan bahwa “Professionals are specialists and experts inside their fields; their expertise is not intended to be necessarily transferable to other areas, consequently they claim no especial wisdom or sagacity outside their specialties”.

(‘Rendahnya kualitas guru baik dari segi pendidikan akademik maupun lainnya menggambarkan betapa rendahnya kualitas pendidikan Negara Indonsia. Peningkatan kualitas pendidikan dan kemampuan guru wajib untuk dilakukan demi memajukan pendidikan nasional’, terj.).

Gaji Dan Etos Kerja

Besaran gaji memberikan pengaruh yang besar dalam etos kerja seseorang dalam dunia pendidikan. Gaji guru PNS berkisar antara Rp 2.000.000.

Akan tetapi seberapa pengorbanan seorang guru sehingga ia layak mendapatkan penghasilan sebesar itu?

Mengacu pada jumlah jam wajib mengajar yaitu 24 jam pelajaran per minggu, maka dalam 1 bulan total jam mengajar guru adalah 108 jam pelajaran. Maka dalam 1 bulan, 108 jam pelajaran x 45 menit = 4.770 menit (79 jam 30 menit) Jadi rata-rata per jam seorang guru memperoleh

gaji sebanyak Rp. 25.000. Sangat bertolak belakang dengan besaran gaji seorang guru honorer/swasta yang hanya digaji Rp. 100.000 s.d. Rp.500.000 per bulannya, maka rata-rata per jam ia hanya memperoleh gaji Rp. 6.250. Tentu saja sangat jauh dari upah minimum regional (UMR) atau upah minimum propinsi (UMP). Layakkah mereka mendapat gaji sejumlah besaran tersebut, jika ditimbang dengan besarnya tanggung jawab dan tuntutan pemerintah maupun masyarakat?

Masyarakat sangat memahami bahwa tanggung jawab guru tidak hanya mengajar di dalam kelas, masih ada tugas-tugas lain seperti kegiatan persiapan mengajar, melakukan evaluasi pembelajaran, belum lagi yang memiliki tugas lain seperti sebagai wali kelas, guru piket, wakil

kepala sekolah, pengelolah unit2 seperti laboratorium, dan lain-lain sesuai keperluan sekolah. Sejalan dengan konsep wawasan wiyata mandala, yang memposisikan sekolah sebagai wahana mengajar, mendidik,dan melatih, maka guru juga memiliki tanggung jawab mulia untuk mengembangkan kualitas siswa secara holistik (kognitf, afektif, dan motorik).

Upaya pemerintah untuk meningkatkan income guru mulai dirintis dengan program sertifikasi guru, diperkirakan pada 2011 sekitar 1,3 juta guru dengan predikat pendidik profesional akan membutuhkan gaji dan tunjangan profesi mencapai 77,46 triliun rupiah. Jumlah fantastis

tersebut 200% dari total anggaran pendidikan untuk pos gaji guru pada tahun 2005. Namun, besaran kuantitas tersebut belum menyentuh berbagai hal yang secara substansial perlu dibenahi untuk menciptakan guru berkualitas sesuai tuntutan masa depan, seperti kontrol menyeluruh kualitas guru itu sendiri.

Secara nyata, pemerintah berharap dengan peningkatan kuantitas income guru akan diikuti dengan peningkatan kualitas. Akan tetapi, pemerintah melalui Dinas Pendidikan tidak memberikan seperangkat mekanisme

peraturan yang dapat digunakan sebagai alat kontrol kualitas kinerja guru itu sendiri. Sejak reformasi bergulir, dimulai dari pemerintahan Presiden Gur Dur, kuantitas besaran income guru menunjukkan grafik peningkatan secara signifikan. Akan tetapi, peningkatan kuantitas income guru ini tidak diikuti dengan peningkatan kualitas etos kerja.

Secara umum, etos kerja aparat pemerintah memang cenderung sangat memprihatinkan. Hal ini dilatarbelakangi oleh kondisi bahwa aparat pemerintah tidak memiliki kecemasan pemutusan hubungan kerja (PHK),meskipun etos kerja mereka menunjukkan grafik naik-turun.

Ketika parameter kualitas pendidikan diukur secara formal, dengan angka-angka statistik, dan cenderung jauh dari kenyataan. Menjadi sangat ironis apabila peningkatan anggaran pendidikan tidak diikuti dengan kualitas pendidikan itu sendiri. Maraknya kasus-kasus pornografi, kekerasan pelajar, narkotika, kecurangan UN, hingga tingginya angka pengangguran menjadi fakta kokret bahwa kualitas pendidikan Indonesia masih jauh dari idealitas. Lalu apa yang telah didarmabaktikan guru yang bersertifikasi?

Darma Bakti

Sosok guru profesional, selain diukur dengan parameter ijazah formal dan kemampuan secara riil, mereka juga membawa amanat besar untuk mendarmabaktikan dirinya demi kemajuan pendidikan. Guru profesional seyogyanya mampu melaksanakan tanggungjawabnya sebagai guru kepada

siswa, wali murid, masyarakat, bangsa, negara, dan agamanya. Guru profesional mempunyai tanggung jawab pribadi, sosial, intelektual,moral, dan spiritual. Tanggung jawab pribadi yang mandiri yang mampu memahami dirinya. Tanggung jawab sosial diwujudkan melalui kompetensi guru dalam memahami dirinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari lingkungan sosial serta memiliki kemampuan interaktif yang efektif.

Tanggung jawab intelektual diwujudkan melalui penguasaaan berbagai perangkat pengetahuan dan keterampilan yang diperlukan untuk menunjang tugas-tugasnya. Tanggung jawab spiritual dan moral diwujudkan melalui penampilan guru sebagai makhluk yang beragama yang perilakunya senantiasa tidak menyimpang dari norma-norma agama dam moral.

Guru profesional adalah guru yang memahami jati dirinya, sebagai pribadi yang terpanggil untuk mendampingi siswa dalam belajar. Secara berkesinambungan, guru dituntut untuk mengembangkan pembelajaran siswa. Apabila ada siswa menjumpai kegagalan dalam proses belajar,maka guru terpanggil untuk meretas latar belakang dan solusinya; bukan mendiamkannya, menyalahkannya, dan berbuat curang dengan menyulap hasil evaluasi pembelajaran atau bekerjasama membocorkan kunci-kunci jawaban seperti pada kasus-kasus kecurangan UN.

Menjadi guru profesional bukan semata guru yang memiliki gaji sesuai dengan latar belakang profesi, atau sebuah proses yang yang hanya dapat ditentukan melalui uji kompetensi dan sertifikasi. Tetapi, menjadi guru profesional terkait dengan ketulusan karena mendidik, mengajar, dan melatih adalah lakuan tindak yang sangat terikat dengan manajemen kalbu. Maka, manajemen kalbu seyogyanya menjadi pijakan dalam mereposisi peran dan fungsi guru.

Guru yang Ideal

Sang guru adalah pendamping utama kaum pembelajar, orang-orang muda dan benih-benih kehidupan masa depan, dalam proses menjadi pemimpin.

Sang guru adalah aktor intelektual yang selalu ada dibelakang layar, ia semacam provokator yang tut wuri handayani. Sang guru belajar dari dirinya sendiri, ketika pemimpin belajar pada semua orang dan terinspirasi oleh matahari, air, api, atau alam semesta, sedangkan

pembelajar belajar pada idolanya, tokoh-tokoh yang dikaguminya.

Bagi seorang guru untuk bersungguh-sungguh mengajar yang paling menentukan bukanlah gaji, meski gaji yang tidak mencukupi kebutuhan dasar memang dapat mengganggu ketenangan dan totalitas mengajar.

Sebaliknya, pertambahan gaji yang tidak diiringi oleh kuatnya komitmen sebagai guru tidak cukup memadai untuk membuat seorang guru mengajar dengan totalitas. Menjadi manusia guru, itulah tugas dan panggilan tertinggi seorang manusia. Dan, sejarah mengajarkan kepada kita bahwa hanya segelintir orang yang mampu membawa dirinya sampai ketahap itu.

Memiliki rasa pengabdian kepada masyarakat. Pendidikan memiliki peran sentral dalam membangun masyarakat untuk mencapai kemajuan. Guru sebagai tenaga pendidikan memiliki peran penting dalam mencerdaskan kehidupan masyarakat tersebut. Untuk itulah guru dituntut memiliki pengabdian yang tinggi kepada masyarakat khususnya dalam membelajarkan anak didik.

Bekerja atas panggilan hati nurani. Dalam melaksanakan tugas pengabdian pada masyarakat hendaknya didasari atas dorongan atau panggilan hati nurani. Sehingga guru akan merasa senang dalam melaksanakan tugas berat mencerdaskan anak didik.Email: anantaanandswami@gmail.com

Entry filed under: Artikel Pengamat Pendidikan. Tags: , , , .

Pendidikan yang Menggeli(sah)kan Minat Baca Atasi Pengangguran


ISSN 2085-059X

Klik tertinggi

  • Tidak ada

  • 1.230.598

Komentar Terbaru

Roos Asih pada Surat Pembaca
rumanti pada Surat Pembaca
ira pada Surat Pembaca
Alfian HSB pada Surat Pembaca
Tamtomo Utamapati pada Surat Pembaca
Ida pada Surat Pembaca
Waluyo pada Surat Pembaca