Mempertimbangkan (Seni) Tradisi

17 Mei, 2013 at 12:00 am

Oleh Aris Setiawan
Etnomusikolog, pengajar Institut Seni Indonesia, Surakarta

Dewantara mengaklamasikan revitalisasi kesenian tradisi di Nusantara, dan Jawa dengan gamelannya terimbas akibat pernyataan Dewantara itu. Gamelan dianggap sebagai musik penting yang tak sekadar mampu mengakomodasi letupan musikal, namun juga olah emosi, rasa, serta kejiwaan.

Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap tanggal 2 Mei harusnya jangan hanya merupakan sebuah ritus seremonial. Hari itu mestinya dimanfaatkan sebagai ruang kontemplasi untuk kembali menelisik jejak perjuangan penjejak pendidikan seperti Ki Hajar Dewantara.

Namun sayang, seperti dikutip dari Koran Jakarta (2/5/2013), pendidikan di Indonesia jauh dari ajaran Ki Hajar Dewantara. Kisah-kisah perjuangannya tak lagi menginspirasi dan mengilhami kemunculan gagasan baru bagi generasi sesudahnya.

Kendati demikian, di bulan kelahirannya ini, berbagai hal dapat digunakan sebagai medium untuk mengenang perjuangannya, di antaranya menelisik perjuangan yang disulut lewat kebudayaan dan seni tradisi.

Ia terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi Soeryaningrat pada 2 Mei 1889. Ki Hajar adalah anak bangsawan di lingkungan Keraton Yogyakarta. Hidup dalam kepungan tembok istana, menjadikan Soewardi erat bersentuhan dengan dunia kesenian, terutama keraton. Kepekaannya tentang denting nada-nada gamelan setiap hari disuluh dalam berbagai ritus dan keagungan upacara tradisi.

Walaupun hidup dalam aliran darah biru, tak menjadikan Soerwardi besar kepala, apalagi mengeksklusifkan diri. Ia justru lebih tertarik bergaul dengan rakyat jelata daripada teman-teman bangsawan sebayanya. Titik pembuktiannya terjadi kala usianya menyentuh angka 40. Ia dengan sadar diri mengganti namanya menjadi Ki Hajar Dewantara. Perubahan nama yang tak mengandung harapan muluk, sekadar ingin mengubah citra agar dipandang setara oleh kaum akar rumput.

Dewantara dianggap sebagai pribadi yang memiliki bekal intelektualitas mumpuni. Lahir dari keluarga terpandang mengharuskan dia bersentuhan dengan dunia pendidikan. Hal yang sangat jarang dijumpai bagi kebanyakan manusia Indonesia kala itu. Ia kemudian tumbuh sebagai pemikir Indonesia.

Pandangan-pandangannya digoreskan lewat pena di media cetak. Ia pernah menjadi wartawan di beberapa koran, seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Kecintaannya terhadap budaya tradisi mencetuskan gagasan-gagasan orisinal tentang cara orang pribumi harus melihat, menempatkan, serta memperlakukan kebudayaannya.

Wisnu Mintargo (2010) memandang Ki Hajar Dewantara sebagai kaum intelektual yang memperjuangkan nasib hidup kebudayaan Indonesia. Gagasan yang cukup membuatnya tersohor kala berujar dalam Kongres Kebudayaan di Bandung tahun 1951, “Kebudayaan nasional dibangun dari puncak-puncak kebudadayaan daerah.”

Revitalisasi

Dewantara mengaklamasikan revitalisasi kesenian tradisi di Nusantara, dan Jawa dengan gamelannya terimbas akibat pernyataan Dewantara itu. Gamelan dianggap sebagai musik penting yang tak sekadar mampu mengakomodasi letupan musikal, namun juga olah emosi, rasa, serta kejiwaan.

Dewantara memandang bahwa gamelam layak untuk dapat diangkat sebagai bunyi yang mampu mengakomodasi gejolak nasionalisme. Perdebatan sengit terjadi di tahun sesudah pernyataannya. Ia dan beberapa kalangan memandang bahwa lagu Indonesia Raya tak selayaknya dibawakan dalam dominasi nada-nada diatonis musik barat. Dewantara dan kaum intelektual pribumi melihat bahwa musik tradisi (gamelan) bisa menjadi ruang yang sepadan dengan musik barat. Dia pun mengimbau para empu gamelan untuk mentransformasikan nada-nada diatonis Indonesia Raya menjadi pentatonis dalam gamelan.

Banyak intelektual dan seniman musik yang tak sependapat dengannya. Mereka menganggap musik barat lebih mampu menampung gejolak musikal dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya. Dikotomi antara barat dan timur menemukan titik kulminasinya ketika pandangan yang berbenturan itu diwujudkan dalam misi pendidikan.

Atas instruksi Ki Hajar Dewantara, di Surakarta, yang menjadi basis gamelan didirikan Konservatori Karawitan Indonesia (Kokari) pada tahun 1952. Sementara setahun sesudahnya, Amir Pasaribu, JA Dungga, dan Soedjasmin, selaku tokoh-tokoh musik barat, mendirikan sekolah tandingan, Akademi Musik Indonesia (AMI).

Atas dasar konsep Dewantara, di tahun 50-an itu perubahan besar-besaran terhadap musik gamelan dilakukan. Para musikus gamelan tak lagi diharuskan memakai beskap, blangkon, dan jarik. Mereka disulap seolah menjadi lebih “intelek” dengan memakai jas, berdasi, sepatu kulit, dan celana resmi.

Cara memainkan gamelan pun diubah, tidak lagi duduk bersila, namun memakai kursi layaknya musisi klasik barat. Uniknya lagi, para pengrawit gamelan tidak harus menghafal notasi karena sudah disediakan music stands, tempat partitur atau notasi gamelan. Perlakuan berbeda terhadap gamelan itu mengakibatkan keanehan tersendiri.

Semua dilakukan demi gengsi dan harga diri, mendudukkan kesenian Indonesia setara dengan kesenian barat (Eropa) yang konon indah. Predikat adiluhung pun dilekatkan pada gamelan dan seni-seni tradisi berbasis keraton lainnya demi semata mengangkat harkat dan martabat bangsa.

Pada akhirnya, musik barat tetap digunakan dalam lagu kebangsaan Indonesia Raya. Sebab basis penciptaan lagu WR Supratman didasarkan pada musik diatonis sehingga mengalami kesulitan kala diubah menjadi pentatonis. Ki Hajar Dewantara memakluminya. Ia pun semakin tersadarkan bahwa kesenian tradisi (termasuk gamelan) tak harus menjadi ke barat-baratan karena memiliki ruang dan lingkup perkembangan berbeda.

Sejak saat itulah, posisi dalam memainkan gamelan kembali seperti sediakala. Namun, tonggak berdirinya Kokari di Surakarta menjadi ilham daerah lain untuk mendirikan sekolah berbasis seni tradisi. Yogyakarta, Denpasar, Banyumas, Sumatra Barat, Sulawesi Selatan, Bandung, dan Surabaya mengikuti jejak Ki Hajar Dewantara dalam mendirikan Kokari. Berkat sumbangan besarnya dalam membangun lembaga pendidikan seni tradisi itulah, kita masih dapat menikmati bunyi gamelan, calung, kacaping, jaipong, talempong, hingga saat ini.

Ki Hajar Dewantara adalah manusia pilihan. Orang yang diberkati untuk menjadi manusia Indonesia seutuhnya. Kecintaan dan perjuangannya dalam menjaga denyut hidup tradisi patut diteladani. Melihat Dewantara berarti menelisik jejak-jejak kesenian di Nusantara. Membicarakan sosoknya tak melulu harus dalam wacana pemikiran politis, hukum dan ekonomi, namun juga kebudayaan. Hal itu menjadi penting karena di era mutakhir, kesenian dan kebudayaan tradisi semakin sayup-sayup dan nyaris tak terdengar detak hidupnya.

Setiap warga harus saling mempertautkan untuk lebih mengenali kebudayaan dan kesenian tradisi. Bagi Ki Hajar Dewantara, tradisi memberi pengalaman berharga dalam menjaga batin, rasa, dan kejiwaan manusia Indonesia (Sumarsam, 2003). Perayaan dalam mengenangnya tak cukup hanya selebrasi, namun melihat kembali detail-detail gagasan yang pernah ditorehkan.

Dewasa ini mungkin hanya beberapa saja yang melihat perjuangannya dengan menitikkan air mata disertai doa. Dewantara mungkin bersedih melihat anak cucunya semakin abai pada tradisi. Kisah akan semangat yang dilukiskannya kemudian hanya menjadi mitos, penuh sangkal, dan tanya.

Jangan heran, jika generasi muda masa kini tak lagi mengenal sosoknya. Dewantara tak lagi menginspirasi ruang imajinasi mereka. Maka, Hari Pendidikan Nasional kemudian juga menjadi satir bagi manusia Indonesia masa kini. (Sumber: Koran Jakarta.Com, 17 Mei 2013)

Entry filed under: Artikel Pengamat Pendidikan. Tags: , .

Urgensi UN SD Mewujudkan Kampus Hijau


ISSN 2085-059X

  • 1.229.734

Komentar Terbaru

Roos Asih pada Surat Pembaca
rumanti pada Surat Pembaca
ira pada Surat Pembaca
Alfian HSB pada Surat Pembaca
Tamtomo Utamapati pada Surat Pembaca
Ida pada Surat Pembaca
Waluyo pada Surat Pembaca